Rabu, 27 Juni 2012

Tarian Dandelion

 

Tarian Dandelion

oleh Oktovia Rezki Peverell pada 25 Februari 2012 pukul 16:13 ·
Tarian Dandelion
Karya : Novi Handayani

            Ini hidupku tapi bukan ceritaku. Bahkan hidupku nyaris tak ada artinya jika dibandingkan dengan cerita yang akan aku tuliskan. Ini tentangnya yang tak pernah bisa aku gapai. Tentangnya yang hanya demi dirinya aku rela memberikan nafasku, tapi aku tahu semuanya tak semudah yang aku mau. Karena aku dan dia berbeda.
            Namanya Hinata.
            Aku bertemu dengannya dua tahun yang lalu, saat aku dan keluargaku pindah ke Bandung, waktu itu aku kelas dua SMA. Aku tak tahu pasti, tapi kurasa inilah prolog ceritaku karena bermula dari sinilah alur ceritaku mengalir begitu saja tanpa pernah aku duga. Layaknya sebuah cerita, dia memang benar-benar sosok perempuan yang digambarkan dalam semua buku cerita tentang keindahan. Rambutnya hitam sepinggang terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Matanya sipit dan setiap dia tersenyum ada lesung pipi yang tersembul di kedua pipinya. Manis sekali. Tutur katanya lembut, seperti wanita Jawa meskipun yang kutahu dia sama sekali tak memiliki keturunan darah Jawa.
            “Aku menunggumu di hamparan Dandelion,” Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku.
            Aku tersenyum menanggapi permintaannya. Dan Minggu itu, aku pergi ke hamparan Dandelion yang dia maksud. Saat tiba di sana, aku melihatnya sedang duduk menungguku. Dia mengenakan dress warna putih bersih dengan rambut terurai. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan segala pesonanya. Jadi dengan hati berdebar aku mendatanginya dan duduk di sampingnya.
            “Kau terlambat lima belas menit,” Katanya dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan Dandelion yang memukau.
            “Maaf,” aku menyesal telah membuatnya menunggu.
            “Kumaafkan,” katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku menatap matanya yang bening dan ritme detakan jantungku bertambah cepat. Aku bisa melihat ada rona merah di sekitar pipinya dan dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan.
            Hening! Aku tak tahu harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang beku ini. Mulutku serasa terkunci dan aku mengerang tertahan. Hanya dia satu-satunya perempuan yang membuatku tak berkutik seperti ini. Aku membencinya karena aku tak bisa menolak pesonanya sehingga terjerat dalam ketidaknormalan ini. Tiba-tiba angin berhembus kencang, meniup rambutnya dan beberapa Dandelion. Aku bisa melihat senyuman yang terukir dari bibirnya, dan itu membuatku merasa seribu kali lebih baik. Biarlah keheningan ini menelanku asal aku bisa merasakan romantisme tanpa bahasa yang menjabarkan semuanya. Hingga matahari kembali ke peraduannya.
            “Sudah sore, aku mau pulang. Terimakasih karena telah menemaniku di sini,” Katanya sambil memetik beberapa tangkai Dandelion sebelum tersenyum padaku.
            Aku membalas senyumnya, “Dengan senang hati.”
            Lalu kami pulang, rumahnya tepat berada di depan rumahku. Saat dalam perjalanan, dia masih tak juga mengatakan apapun. Dan kali ini diamnya mengusikku. “Kau kenapa?” tanyaku.
            Dia menatapku bingung. “Memangnya aku kenapa?”
            “Dari tadi kau diam terus.”
            Dia tak langsung menjawab dan saat kami telah tiba di depan rumahnya dia berkata, “Aku merasa nyaman dengan diamku. Itu saja!” dia langsung keluar dari dalam mobil, “Bagaimana pun juga, aku senang kau menemaniku. Selamat malam.”
            Aku menatap punggungnya yang semakin lama semakin mengecil dan menghilang saat dia sudah masuk ke dalam rumah. Aku menarik napas panjang sebelum memarkirkan mobilku dan masuk ke dalam kamar. Aku melihat lampu kamarnya menyala, dan itu membuatku terdiam. Aku hanya berdiri terpaku dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
            Tapi aku semakin takut, saat keesokan harinya dia menelponku dan berkata akan menungguku di Taman Kanak-Kanak saat aku sedang berlatih basket. Aku tak tahu jenis ketakutan apa yang tengah melandaku. Irasional mungkin, karena jelas-jelas tak ada yang perlu ditakutkan. Jadi aku putuskan akan menemuinya di Taman Kanak-Kanak.
            “Deri, maaf aku tak bisa ikut latihan. Aku harus pergi.”  Kataku meminta izin.
            “Perempuan mana yang membuatmu meninggalkan latihan kita?” Aku melihatnya tersenyum sinis dan aku ingin sekali menghajarnya.
            “Bukan urusanmu!” Aku mendecih dan meninggalkan lapangan basket sebelum aku benar-benar tergoda untuk memukulnya.
            “Tentu saja itu urusanku. Lomba sudah di depan mata dan kau meninggalkan latihan hanya untuk berkencan.”
            Aku berhenti sejenak untuk memikirkan kata-katanya. Sebersit perasaan bersalah muncul dalam hatiku, tapi itu tak mengubah keputusanku. Hinata sudah menungguku dan akan tetap menemuinya.
            Saat aku tiba di Taman Kanak-kanak, aku melihatnya duduk di atas ayunan. Dia mengenakan dress warna putih sepanjang lutut dengan rambut di kepang satu. Aku mengerutkan kening, berapa banyakkah bajunya yang bewarna putih?
            “Hey, apa aku terlambat?” Tanyaku sembari duduk di sampingnya.
            Dia memandangku lembut, “Kau sedang latihan?”
            Aku bertanya-tanya dari mana dia tahu. Kemudian aku teringat aku masih mengenakan baju basket. Seharusnya aku berganti pakaian dulu. “Sudah selesai,” Dustaku.
            “Aku minta maaf, kau pasti haus.” Dia mengeluarkan sebotol air minum dari tasnya dan memberikannya padaku. Kuterima dengan senang hati dan langsung meneguknya sampai habis.
            “Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK,” Katanya sambil tersenyum lembut dan mengamati segerombolan anak-anak yang tengah bermain bola.
            “Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
            “Mereka benar-benar makhluk yang menggemaskan. Pasti menyenangkan rasanya bila tiap hari dikelilingi dengan wajah tanpa dosa yang tak pernah memikirkan stratifikasi dalam kehidupan”
             Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi tak urung jua aku mengangguk. Jadi sesorean itu kami menghabiskan waktu dalam diam untuk mengamati anak-anak itu hingga tak ada lagi anak yang bermain. Dan setelah melihat mega-mega  merah di langit, dia mengajakku pulang.
            “Terimakasih untuk hari ini,” Katanya sebelum masuk ke dalam rumah. Aku bisa melihat lesung pipinya yang selalu aku nantikan saat dia tersenyum.
            “Sama-sama.” Dan dia berbalik meninggalkanku di depan rumahnya.
            Aku menutup mataku sambil berusaha mengendurkan sarafku yang tegang. Aku merasa lelah sekali meskipun aku tak tahu apa penyebabnya. Kali ini aku tak tahu, akan menantikan apa esok pagi saat aku terbangun.
¥¥¥
            “Aku menunggumu di pusat perbelanjaan.” Suara Hinata masih berdengung di telingaku. Aku semakin tak mengerti apa maunya. Beribu pertanyaan mampir ke dalam benakku, apakah dia akan seperti hari-hari sebelumnya. Mengajakku pergi dan mendiamkanku. Aku meremas rambutku frustasi.
            “Aku harus pergi,” Kataku sambil mengambil baju ganti dan memakainya.
            “Pergi saja!” sahut Deri pedas.
            Baiklah, aku tahu kalau aku sekarang sudah benar-benar keterlaluan karena tidak ikut latihan. Tapi membayangkan Hinata di sana menungguku sendiri, itu adalah mimpi terburuk yang pernah aku alami. “Maaf, tapi aku janji kita akan menang.”
            Setelah selesai memakai baju, aku langsung ke parkiran dan mengambil mobilku untuk menemui Hinata. Saat aku tiba di sana, seperti biasa dia sudah menungguku. Tapi kali ini, dia tidak mengenakan dress warna putih melainkan celana panjang warna biru dan baju warna Ungu. Rambutnya diikat menjadi satu di sebelah kanan. Sangat kekanak-kanakan. Tapi menurutku dia imut sekali.
            “Maaf merepotkanmu,” Hinata langsung tersenyum manis saat aku berjalan ke arahnya.
            Aku menggeleng dan mulai mengancamnya, “Tapi aku akan benar-benar meninggalkanmu jika kau mengajakku hanya untuk menjadi patungmu.”       
            Dia merengut, “Tak akan. Kau tenang saja.”
            “Baiklah, sekarang kita mau ke mana?” Tanyaku.
            Mata Hinata berbinar senang saat mendengar pertanyaanku. Kemudian dia menarik tanganku keluar dari pusat perbelanjaan. “Aku tahu, kau akan mengabulkan permintaanku. Aku ingin jalan-jalan.” Aku berhenti jalan, dan Hinata juga menghentikan jalannya. “Ada apa?”
            “Kurasa sebaiknya aku mengambil mobil du…”
            “Aku mau jalan, Andri! Bukan naik mobil.” Katanya sambil melepaskan tanganku. Kemudian dia berjalan duluan di depanku dan aku langsung menyusulnya.
            “Kau marah?”
            “Untuk apa? Aku mau ke jembatan sana. Kau mau ikut tidak?” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan  ikut barjalan di sampingnya. Aku bisa mendengar Hinata tengah bersenandung kecil. Tampaknya dia sedang bahagia.  Mau tak mau aku ikut tersenyum senang. “Sudah lama sekali aku tak menghirup udara luar,” Katanya.
            “Aku senang sekali mendengarnya. Kalau aku jadi kau aku tak akan pernah home schooling. Percaya padaku, kau akan menghirup udara luar tiap hari.”
            Aku melihatnya menghentikan langkahnya, dan aku juga menghentikan langkahku. Dia menatapku lama sekali sebelum berjalan menuju ke trotoar dan duduk di situ. “Aku tak punya pilihan. Dan tak akan pernah punya pilihan. Karena apa yang aku jalani itu pilihan terbaik.”
            “Aku tak mengerti.” Kataku sambil menatap matanya.
            Hinata tersenyum ke arahku, dan menunjuk beberapa anak jalanan. “Kau tahu, mereka tak pernah meminta untuk menjadi seperti mereka. Dan yang mereka lakukan adalah jalan terbaik meskipun mereka tak suka. Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.”
            Aku mencoba menyerap segala kata-katanya dan mengumpulkan ke dalam otakku sehingga aku bisa menyimpulkan sesuatu. Tapi tak ada kesimpulan apapun yang aku dapatkan, hanya sebuah pernyataan bahwa aku tak pernah mengenal Hinata. Masih begitu banyak teka-teki yang ada di setiap sudut ceritanya.
            Jadi sore itu, kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang hingga aku melihat sadar hari sudah petang ,“Ayo pulang,” Ajakku sambil menggandeng tangannya. Dia diam saja dan saat kami sudah berada di parkiran mobil, aku benar-benar terkejut saat melihat wajahnya sepucat Vampir. “Hinata kau tak apa-apa? Mukamu pucat.”
            “Aku hanya kedinginan saja.” Dia memeluk badannya sendiri dan aku langsung melepaskan jaket yang aku pakai dan menyuruhnya untuk memakai jaketku. “Teri…ma… kas…ih.” Kata Hinata terbata-bata. Dia menangis dan itu membuatku mematung. Ada apa dengannya? Melihat tangisannya, dadaku terasa sesak dan aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. Sedikit berharap dia bisa lebih tenang.
            “Hinata…”
            Sebuah suara mengagetkanku dan Hinata langsung melepas diri pelukanku. Aku menatap laki-laki yang bisa dibilang mengganggu kami dengan pandangan tidak suka, di sampingnya berdiri seorang perempuan manis dengan rambut ikal.
            “Rehan? Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Hinata sambil menyapukan jemarinya di matanya, untuk menghapus jejak-jejak air mata.
            “Tentu saja kencan. Kenalkan ini pacarku, namanya Abel. Siapa yang sedang bersamamu? Pacarmu?” Tanyanya ingin tahu.
            “Iya, dia pacarku.” Jawab Hinata pelan. Aku menatapnya tak percaya. “Namanya Andri. Kurasa kami harus segera pulang.”
            “Oh, kalau begitu kami pergi dulu.” Kata laki-laki yang bernama Rehan itu sambil meninggalkan kami.
            Setelah mereka benar-benar tak terlihat, aku memandang Hinata tajam, “Kenapa kau bilang padanya kalau aku pacarmu?”
            Aku bisa melihat ekspresi terluka dari wajah Hinata, dan itu membuatku menyesal telah menanyakan hal itu padanya. “Kau keberatan?”
            “Tidak!” tentu saja tidak. Aku sangat mencintaimu Hinata. Benar-benar mencintaimu. “Tapi beri aku satu alasan agar aku bisa mengerti apa yang terjadi. kau benar-benar aneh akhir ini. Dua hari yang lalu kau mengajakku pergi dan mendiamkanku. Hari ini tiba-tiba saja kau menangis dan mengaku kalau aku pacarmu. Ini membingungkan!”
            “Aku mencintainya.” Kata Hinata datar.
            “Siapa?” Sejujurnya aku tak mau tahu, saat dia mengatakan ‘nya’.
            “Rehan. Aku mencintainya. Dan aku menangis karena aku, tak sengaja melihatnya sedang bersama Abel. Aku sama sekali tak menyangka jika mereka akan menghampiriku, jadi maaf aku sama sekali tak berpikir saat mengatakan bahwa kau adalah pacarku.”
            Aku meremas rambutku. Benar-benar menyakitkan seolah rongga dadaku kosong tanpa isi. Hanya ada kehampaan. Dan semenit kemudian gelombang kemarahan melandaku dan menenggelamkanku ke dasarnya. Aku cemburu dan aku murka.
            “Ayo pulang!” Aku menarik tangannya dengan kasar.
            “Sakit Andri.” Hinata berusaha melepaskan tangannya dari peganganku. dan aku mendorongnya agar masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat air matanya mengalir. Dan aku sama sekali tak merasa kasihan pada orang yang bahkan tak pernah mempedulikan orang yang mencintainya.
¥¥¥
            Aku menatap lapangan basket dengan pandangan muram. Akhir-akhir ini keadaan semakin memburuk entah dalam artian apa. Aku lelah sekali, terlalu lelah untuk menghirup napas sekalipun. Aku lelah, karena aku berlatih sekuat tenaga agar aku tak mengecewakan mereka, tak seperti yang pernah aku lakukan membuat mereka kacau balau hanya demi sesuatu yang sia-sia. Aku lelah, menghindar dari Hinata. Aku tak tahu apa maunya, sejak malam yang tak pernah aku ungkit-ungkit itu dia berusaha menghubungiku dan mengucapkan kata maaf berkali-kali padaku.
            Jujur saja, aku bingung siapa yang salah di sini? Mungkin aku yang terlalu egois. Tapi aku benar-benar tidak sanggup melihat Hinata. Dia melukaiku.
            “Andri! Perlombaan sudah mau dimulai.” Kata Deri.
            Aku mengangguk dan berjalan ke lapangan. Saat itulah aku merasakan ada yang hilang. Meskipun aku tak tahu apa. Mungkin aku takut kehilangan kesempatan untuk menang. Baiklah, akan aku buktikan pada mereka bahwa aku bisa.
              Pertandingan tak membutuhkan waktu yang lama, dan seperti yang aku inginkan kami benar-benar menang. Menyenangkan rasanya. Deri mengajak kami satu tim ke kantin untuk makan-makan bersama.
            “Aku tak menyangka kita bisa menang. Mengingat Andri tengah kasmaran,” Agus berceloteh sambil menggigit gorengan.
            “Aku juga.” Timpal Deri, “Tapi Andri kan orang yang bertanggung jawab. Jadi percaya saja padanya.” dan mereka semua tertawa.
            Paradoks tingkat tinggi. Aku berjalan ke ruang ganti sendirian dan mengaktifkan ponselku untuk menghubungi Mama. Malam ini aku ingin menginap di rumah Deri saja. Sepertinya melegakan punya teman untuk bercerita.
            Sebelum aku menelpon Mama, ada satu pesan masuk ke dalam ponselku. Dan ternyata itu dari Mama.
            27/04/2011
            Pengirim : Mama
            Andri, cepat pulang Nak! Hinata dipanggil ke Rahmatulloh tadi jam lima sore.
¥¥¥
            Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
            Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi saat aku melihat orang berlalu lalang di depan rumah Hinata. Aku berharap saat masuk ke dalam rumahnya, Hinata akan menepuk bahuku dan tersenyum lembut. Miris! Hatiku beku dan aku butuh pelepasan. Tanganku membuka dasbor untuk mengambil sebungkus rokok. Tapi bukan sebungkus rokok yang aku gapai, melainkan seikat Dandelion yang telah kering. Hinata?
            Dandelion itu merosot jatuh dari tanganku dan aku lansung berlari masuk ke dalam rumah Hinata. Aku ingin mengajaknya ke hamparan Dandelion lagi. Aku tak peduli jika dia tak mencintaiku, aku akan tetap mencintainya sampai kapanpun.
            Aku terpaku saat tiba di ruang tengah milik keluarga Hinata. Di sana ada Mama, yang tengah memeluk Mama Hinata. Dan tepat di tengah ruangan, Hinata tertidur  pulas.
            “Kenapa dia tak merasa terganggu dengan semua kebisingan ini? Apakah mimpinya terlalu indah sehingga dia tak mau bangun lagi?” Tanyaku pada diriku sendiri dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
¥
Rasanya menyakitkan dan memuakkan! Kanker otak sialan. Aku bahkan tak sanggup melukiskannya dengan kata-kata. Aku juga tak tahu mengapa sekarang aku ingin segala kata-kata mengurai ceritaku, sebelum aku benar-benar pergi. Aku ingin punya satu cerita yang membuktikan bahwa aku pernah hidup. Tapi aku benar-benar pusing untuk memilih cerita mana yang ingin aku tuliskan mengingat hidupku sama sekali tak menarik untuk di baca.
            Nyaris! Semuanya monoton. Yang kutahu hanya tangis. Aku bahkan tak mengenal kata tawa. Aku merasa kata itu, hanya digunakan untuk orang-orang yang memiliki kehidupan bukan untuk orang sepertiku. Orang yang tiap harinya melihat wajah duka seolah-olah mereka menungguku untuk mati. Atau prihatin atas kematian yang akan mendatangiku. Ohh … Entahlah! Aku tak tahu.
            Tapi … Aku tetap ingin bercerita. Ini tentang Andri. Karena sejak kedatangannya semuanya berubah. Dia tampan dan memukaukan. Melihatnya membuatku berpikir aku orang yang sangat beruntung karena sebelum melihat malaikat pencabut nyawa, Tuhan memberikanku kesempatan untuk melihat bagaimana rupa malaikat sesungguhnya.
              Kurasa aku harus memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk diriku sendiri. Aku mencintainya, dan sekarang dia membenciku. Drama yang sempurna bukan? Saat aku mengatakan bahwa dia pacarku, tak ada maksud apa-apa. Aku memang berharap seperti itu. Tapi bukan harapan itu yang kudapat melainkan penolakan. Aku berbohong padanya dan aku berbohong pada diriku sendiri. Andai aku punya kesempatan aku ingin mengatakan yang sejujurnya. Dan waktuku telah habis. Aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari kata mereka, malaikat berbaju putih yang tak bisa menolongku untuk tetap hidup. Aku mengahabiskan tiga hari untuk bersamanya, dan tiga hari untuk mengenangnya. Karena ini akhir dari segala ceritaku yang ingin aku ceritakan.
            Aku meremas kertas yang tadi diberikan oleh Mamanya Hinata. Rasanya sama saja, aku juga merasa hatiku teremas. Sakit sekali! Kemudian aku terduduk dan bersandar di dinding, mau tak mau aku mengakui kalau aku menangis. Ternyata aku memang tak tahu segala tentangnya, bahkan penyakit yang selalu menggerogoti badannya pun aku tak tahu. Aku ingin pergi ke hamparan Dandelion itu lagi, dan berharap di sana ia sudah menungguku.

Sinopsis

                Aku menunggumu di hamparan Dandelion. Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku
Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
Ini semua tentang Hinata.
Karena aku tahu, dia pusat dari segala orbitku.
Tapi sejak tarian Dandelion di hari Minggu yang dia janjikan, itu mengubah segalanya. Andai saja aku bisa membaca segala tanda-tanda dari tarian Dandelion yang juga merupakan tarian ekspresinya. Andai aku tahu bahwa tarian Dandelion yang semakin lama meninggalkanku adalah tujuannya.
Aku bertanya-tanya apakah kata-kataku ambigu? Terlalu banyak  kesalahan dalam setiap interaksi yang ada. Aku merasa banyak lubang di setiap latar yang menghadirkan kita berdua. Meskipun aku baru menyadarinya.
Andai saja aku sedikit peka. Pasti kita masih berada di satu cerita yang sama.
Tapi takdir kita sudah jelas. Cerita itu telah mengalir. Dan Sketsa kehidupan telah terpampang. Tapi aku tak pernah sanggup untuk berjalan dan menggapai epilog yang aku sendiri takut untuk menapakinya. Aku pengecut.

 

Tarian Dandelion

oleh Oktovia Rezki Peverell pada 25 Februari 2012 pukul 16:13 ·
Tarian Dandelion
Karya : Novi Handayani

            Ini hidupku tapi bukan ceritaku. Bahkan hidupku nyaris tak ada artinya jika dibandingkan dengan cerita yang akan aku tuliskan. Ini tentangnya yang tak pernah bisa aku gapai. Tentangnya yang hanya demi dirinya aku rela memberikan nafasku, tapi aku tahu semuanya tak semudah yang aku mau. Karena aku dan dia berbeda.
            Namanya Hinata.
            Aku bertemu dengannya dua tahun yang lalu, saat aku dan keluargaku pindah ke Bandung, waktu itu aku kelas dua SMA. Aku tak tahu pasti, tapi kurasa inilah prolog ceritaku karena bermula dari sinilah alur ceritaku mengalir begitu saja tanpa pernah aku duga. Layaknya sebuah cerita, dia memang benar-benar sosok perempuan yang digambarkan dalam semua buku cerita tentang keindahan. Rambutnya hitam sepinggang terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Matanya sipit dan setiap dia tersenyum ada lesung pipi yang tersembul di kedua pipinya. Manis sekali. Tutur katanya lembut, seperti wanita Jawa meskipun yang kutahu dia sama sekali tak memiliki keturunan darah Jawa.
            “Aku menunggumu di hamparan Dandelion,” Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku.
            Aku tersenyum menanggapi permintaannya. Dan Minggu itu, aku pergi ke hamparan Dandelion yang dia maksud. Saat tiba di sana, aku melihatnya sedang duduk menungguku. Dia mengenakan dress warna putih bersih dengan rambut terurai. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan segala pesonanya. Jadi dengan hati berdebar aku mendatanginya dan duduk di sampingnya.
            “Kau terlambat lima belas menit,” Katanya dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan Dandelion yang memukau.
            “Maaf,” aku menyesal telah membuatnya menunggu.
            “Kumaafkan,” katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku menatap matanya yang bening dan ritme detakan jantungku bertambah cepat. Aku bisa melihat ada rona merah di sekitar pipinya dan dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan.
            Hening! Aku tak tahu harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang beku ini. Mulutku serasa terkunci dan aku mengerang tertahan. Hanya dia satu-satunya perempuan yang membuatku tak berkutik seperti ini. Aku membencinya karena aku tak bisa menolak pesonanya sehingga terjerat dalam ketidaknormalan ini. Tiba-tiba angin berhembus kencang, meniup rambutnya dan beberapa Dandelion. Aku bisa melihat senyuman yang terukir dari bibirnya, dan itu membuatku merasa seribu kali lebih baik. Biarlah keheningan ini menelanku asal aku bisa merasakan romantisme tanpa bahasa yang menjabarkan semuanya. Hingga matahari kembali ke peraduannya.
            “Sudah sore, aku mau pulang. Terimakasih karena telah menemaniku di sini,” Katanya sambil memetik beberapa tangkai Dandelion sebelum tersenyum padaku.
            Aku membalas senyumnya, “Dengan senang hati.”
            Lalu kami pulang, rumahnya tepat berada di depan rumahku. Saat dalam perjalanan, dia masih tak juga mengatakan apapun. Dan kali ini diamnya mengusikku. “Kau kenapa?” tanyaku.
            Dia menatapku bingung. “Memangnya aku kenapa?”
            “Dari tadi kau diam terus.”
            Dia tak langsung menjawab dan saat kami telah tiba di depan rumahnya dia berkata, “Aku merasa nyaman dengan diamku. Itu saja!” dia langsung keluar dari dalam mobil, “Bagaimana pun juga, aku senang kau menemaniku. Selamat malam.”
            Aku menatap punggungnya yang semakin lama semakin mengecil dan menghilang saat dia sudah masuk ke dalam rumah. Aku menarik napas panjang sebelum memarkirkan mobilku dan masuk ke dalam kamar. Aku melihat lampu kamarnya menyala, dan itu membuatku terdiam. Aku hanya berdiri terpaku dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
            Tapi aku semakin takut, saat keesokan harinya dia menelponku dan berkata akan menungguku di Taman Kanak-Kanak saat aku sedang berlatih basket. Aku tak tahu jenis ketakutan apa yang tengah melandaku. Irasional mungkin, karena jelas-jelas tak ada yang perlu ditakutkan. Jadi aku putuskan akan menemuinya di Taman Kanak-Kanak.
            “Deri, maaf aku tak bisa ikut latihan. Aku harus pergi.”  Kataku meminta izin.
            “Perempuan mana yang membuatmu meninggalkan latihan kita?” Aku melihatnya tersenyum sinis dan aku ingin sekali menghajarnya.
            “Bukan urusanmu!” Aku mendecih dan meninggalkan lapangan basket sebelum aku benar-benar tergoda untuk memukulnya.
            “Tentu saja itu urusanku. Lomba sudah di depan mata dan kau meninggalkan latihan hanya untuk berkencan.”
            Aku berhenti sejenak untuk memikirkan kata-katanya. Sebersit perasaan bersalah muncul dalam hatiku, tapi itu tak mengubah keputusanku. Hinata sudah menungguku dan akan tetap menemuinya.
            Saat aku tiba di Taman Kanak-kanak, aku melihatnya duduk di atas ayunan. Dia mengenakan dress warna putih sepanjang lutut dengan rambut di kepang satu. Aku mengerutkan kening, berapa banyakkah bajunya yang bewarna putih?
            “Hey, apa aku terlambat?” Tanyaku sembari duduk di sampingnya.
            Dia memandangku lembut, “Kau sedang latihan?”
            Aku bertanya-tanya dari mana dia tahu. Kemudian aku teringat aku masih mengenakan baju basket. Seharusnya aku berganti pakaian dulu. “Sudah selesai,” Dustaku.
            “Aku minta maaf, kau pasti haus.” Dia mengeluarkan sebotol air minum dari tasnya dan memberikannya padaku. Kuterima dengan senang hati dan langsung meneguknya sampai habis.
            “Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK,” Katanya sambil tersenyum lembut dan mengamati segerombolan anak-anak yang tengah bermain bola.
            “Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
            “Mereka benar-benar makhluk yang menggemaskan. Pasti menyenangkan rasanya bila tiap hari dikelilingi dengan wajah tanpa dosa yang tak pernah memikirkan stratifikasi dalam kehidupan”
             Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi tak urung jua aku mengangguk. Jadi sesorean itu kami menghabiskan waktu dalam diam untuk mengamati anak-anak itu hingga tak ada lagi anak yang bermain. Dan setelah melihat mega-mega  merah di langit, dia mengajakku pulang.
            “Terimakasih untuk hari ini,” Katanya sebelum masuk ke dalam rumah. Aku bisa melihat lesung pipinya yang selalu aku nantikan saat dia tersenyum.
            “Sama-sama.” Dan dia berbalik meninggalkanku di depan rumahnya.
            Aku menutup mataku sambil berusaha mengendurkan sarafku yang tegang. Aku merasa lelah sekali meskipun aku tak tahu apa penyebabnya. Kali ini aku tak tahu, akan menantikan apa esok pagi saat aku terbangun.
¥¥¥
            “Aku menunggumu di pusat perbelanjaan.” Suara Hinata masih berdengung di telingaku. Aku semakin tak mengerti apa maunya. Beribu pertanyaan mampir ke dalam benakku, apakah dia akan seperti hari-hari sebelumnya. Mengajakku pergi dan mendiamkanku. Aku meremas rambutku frustasi.
            “Aku harus pergi,” Kataku sambil mengambil baju ganti dan memakainya.
            “Pergi saja!” sahut Deri pedas.
            Baiklah, aku tahu kalau aku sekarang sudah benar-benar keterlaluan karena tidak ikut latihan. Tapi membayangkan Hinata di sana menungguku sendiri, itu adalah mimpi terburuk yang pernah aku alami. “Maaf, tapi aku janji kita akan menang.”
            Setelah selesai memakai baju, aku langsung ke parkiran dan mengambil mobilku untuk menemui Hinata. Saat aku tiba di sana, seperti biasa dia sudah menungguku. Tapi kali ini, dia tidak mengenakan dress warna putih melainkan celana panjang warna biru dan baju warna Ungu. Rambutnya diikat menjadi satu di sebelah kanan. Sangat kekanak-kanakan. Tapi menurutku dia imut sekali.
            “Maaf merepotkanmu,” Hinata langsung tersenyum manis saat aku berjalan ke arahnya.
            Aku menggeleng dan mulai mengancamnya, “Tapi aku akan benar-benar meninggalkanmu jika kau mengajakku hanya untuk menjadi patungmu.”       
            Dia merengut, “Tak akan. Kau tenang saja.”
            “Baiklah, sekarang kita mau ke mana?” Tanyaku.
            Mata Hinata berbinar senang saat mendengar pertanyaanku. Kemudian dia menarik tanganku keluar dari pusat perbelanjaan. “Aku tahu, kau akan mengabulkan permintaanku. Aku ingin jalan-jalan.” Aku berhenti jalan, dan Hinata juga menghentikan jalannya. “Ada apa?”
            “Kurasa sebaiknya aku mengambil mobil du…”
            “Aku mau jalan, Andri! Bukan naik mobil.” Katanya sambil melepaskan tanganku. Kemudian dia berjalan duluan di depanku dan aku langsung menyusulnya.
            “Kau marah?”
            “Untuk apa? Aku mau ke jembatan sana. Kau mau ikut tidak?” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan  ikut barjalan di sampingnya. Aku bisa mendengar Hinata tengah bersenandung kecil. Tampaknya dia sedang bahagia.  Mau tak mau aku ikut tersenyum senang. “Sudah lama sekali aku tak menghirup udara luar,” Katanya.
            “Aku senang sekali mendengarnya. Kalau aku jadi kau aku tak akan pernah home schooling. Percaya padaku, kau akan menghirup udara luar tiap hari.”
            Aku melihatnya menghentikan langkahnya, dan aku juga menghentikan langkahku. Dia menatapku lama sekali sebelum berjalan menuju ke trotoar dan duduk di situ. “Aku tak punya pilihan. Dan tak akan pernah punya pilihan. Karena apa yang aku jalani itu pilihan terbaik.”
            “Aku tak mengerti.” Kataku sambil menatap matanya.
            Hinata tersenyum ke arahku, dan menunjuk beberapa anak jalanan. “Kau tahu, mereka tak pernah meminta untuk menjadi seperti mereka. Dan yang mereka lakukan adalah jalan terbaik meskipun mereka tak suka. Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.”
            Aku mencoba menyerap segala kata-katanya dan mengumpulkan ke dalam otakku sehingga aku bisa menyimpulkan sesuatu. Tapi tak ada kesimpulan apapun yang aku dapatkan, hanya sebuah pernyataan bahwa aku tak pernah mengenal Hinata. Masih begitu banyak teka-teki yang ada di setiap sudut ceritanya.
            Jadi sore itu, kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang hingga aku melihat sadar hari sudah petang ,“Ayo pulang,” Ajakku sambil menggandeng tangannya. Dia diam saja dan saat kami sudah berada di parkiran mobil, aku benar-benar terkejut saat melihat wajahnya sepucat Vampir. “Hinata kau tak apa-apa? Mukamu pucat.”
            “Aku hanya kedinginan saja.” Dia memeluk badannya sendiri dan aku langsung melepaskan jaket yang aku pakai dan menyuruhnya untuk memakai jaketku. “Teri…ma… kas…ih.” Kata Hinata terbata-bata. Dia menangis dan itu membuatku mematung. Ada apa dengannya? Melihat tangisannya, dadaku terasa sesak dan aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. Sedikit berharap dia bisa lebih tenang.
            “Hinata…”
            Sebuah suara mengagetkanku dan Hinata langsung melepas diri pelukanku. Aku menatap laki-laki yang bisa dibilang mengganggu kami dengan pandangan tidak suka, di sampingnya berdiri seorang perempuan manis dengan rambut ikal.
            “Rehan? Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Hinata sambil menyapukan jemarinya di matanya, untuk menghapus jejak-jejak air mata.
            “Tentu saja kencan. Kenalkan ini pacarku, namanya Abel. Siapa yang sedang bersamamu? Pacarmu?” Tanyanya ingin tahu.
            “Iya, dia pacarku.” Jawab Hinata pelan. Aku menatapnya tak percaya. “Namanya Andri. Kurasa kami harus segera pulang.”
            “Oh, kalau begitu kami pergi dulu.” Kata laki-laki yang bernama Rehan itu sambil meninggalkan kami.
            Setelah mereka benar-benar tak terlihat, aku memandang Hinata tajam, “Kenapa kau bilang padanya kalau aku pacarmu?”
            Aku bisa melihat ekspresi terluka dari wajah Hinata, dan itu membuatku menyesal telah menanyakan hal itu padanya. “Kau keberatan?”
            “Tidak!” tentu saja tidak. Aku sangat mencintaimu Hinata. Benar-benar mencintaimu. “Tapi beri aku satu alasan agar aku bisa mengerti apa yang terjadi. kau benar-benar aneh akhir ini. Dua hari yang lalu kau mengajakku pergi dan mendiamkanku. Hari ini tiba-tiba saja kau menangis dan mengaku kalau aku pacarmu. Ini membingungkan!”
            “Aku mencintainya.” Kata Hinata datar.
            “Siapa?” Sejujurnya aku tak mau tahu, saat dia mengatakan ‘nya’.
            “Rehan. Aku mencintainya. Dan aku menangis karena aku, tak sengaja melihatnya sedang bersama Abel. Aku sama sekali tak menyangka jika mereka akan menghampiriku, jadi maaf aku sama sekali tak berpikir saat mengatakan bahwa kau adalah pacarku.”
            Aku meremas rambutku. Benar-benar menyakitkan seolah rongga dadaku kosong tanpa isi. Hanya ada kehampaan. Dan semenit kemudian gelombang kemarahan melandaku dan menenggelamkanku ke dasarnya. Aku cemburu dan aku murka.
            “Ayo pulang!” Aku menarik tangannya dengan kasar.
            “Sakit Andri.” Hinata berusaha melepaskan tangannya dari peganganku. dan aku mendorongnya agar masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat air matanya mengalir. Dan aku sama sekali tak merasa kasihan pada orang yang bahkan tak pernah mempedulikan orang yang mencintainya.
¥¥¥
            Aku menatap lapangan basket dengan pandangan muram. Akhir-akhir ini keadaan semakin memburuk entah dalam artian apa. Aku lelah sekali, terlalu lelah untuk menghirup napas sekalipun. Aku lelah, karena aku berlatih sekuat tenaga agar aku tak mengecewakan mereka, tak seperti yang pernah aku lakukan membuat mereka kacau balau hanya demi sesuatu yang sia-sia. Aku lelah, menghindar dari Hinata. Aku tak tahu apa maunya, sejak malam yang tak pernah aku ungkit-ungkit itu dia berusaha menghubungiku dan mengucapkan kata maaf berkali-kali padaku.
            Jujur saja, aku bingung siapa yang salah di sini? Mungkin aku yang terlalu egois. Tapi aku benar-benar tidak sanggup melihat Hinata. Dia melukaiku.
            “Andri! Perlombaan sudah mau dimulai.” Kata Deri.
            Aku mengangguk dan berjalan ke lapangan. Saat itulah aku merasakan ada yang hilang. Meskipun aku tak tahu apa. Mungkin aku takut kehilangan kesempatan untuk menang. Baiklah, akan aku buktikan pada mereka bahwa aku bisa.
              Pertandingan tak membutuhkan waktu yang lama, dan seperti yang aku inginkan kami benar-benar menang. Menyenangkan rasanya. Deri mengajak kami satu tim ke kantin untuk makan-makan bersama.
            “Aku tak menyangka kita bisa menang. Mengingat Andri tengah kasmaran,” Agus berceloteh sambil menggigit gorengan.
            “Aku juga.” Timpal Deri, “Tapi Andri kan orang yang bertanggung jawab. Jadi percaya saja padanya.” dan mereka semua tertawa.
            Paradoks tingkat tinggi. Aku berjalan ke ruang ganti sendirian dan mengaktifkan ponselku untuk menghubungi Mama. Malam ini aku ingin menginap di rumah Deri saja. Sepertinya melegakan punya teman untuk bercerita.
            Sebelum aku menelpon Mama, ada satu pesan masuk ke dalam ponselku. Dan ternyata itu dari Mama.
            27/04/2011
            Pengirim : Mama
            Andri, cepat pulang Nak! Hinata dipanggil ke Rahmatulloh tadi jam lima sore.
¥¥¥
            Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
            Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi saat aku melihat orang berlalu lalang di depan rumah Hinata. Aku berharap saat masuk ke dalam rumahnya, Hinata akan menepuk bahuku dan tersenyum lembut. Miris! Hatiku beku dan aku butuh pelepasan. Tanganku membuka dasbor untuk mengambil sebungkus rokok. Tapi bukan sebungkus rokok yang aku gapai, melainkan seikat Dandelion yang telah kering. Hinata?
            Dandelion itu merosot jatuh dari tanganku dan aku lansung berlari masuk ke dalam rumah Hinata. Aku ingin mengajaknya ke hamparan Dandelion lagi. Aku tak peduli jika dia tak mencintaiku, aku akan tetap mencintainya sampai kapanpun.
            Aku terpaku saat tiba di ruang tengah milik keluarga Hinata. Di sana ada Mama, yang tengah memeluk Mama Hinata. Dan tepat di tengah ruangan, Hinata tertidur  pulas.
            “Kenapa dia tak merasa terganggu dengan semua kebisingan ini? Apakah mimpinya terlalu indah sehingga dia tak mau bangun lagi?” Tanyaku pada diriku sendiri dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
¥
Rasanya menyakitkan dan memuakkan! Kanker otak sialan. Aku bahkan tak sanggup melukiskannya dengan kata-kata. Aku juga tak tahu mengapa sekarang aku ingin segala kata-kata mengurai ceritaku, sebelum aku benar-benar pergi. Aku ingin punya satu cerita yang membuktikan bahwa aku pernah hidup. Tapi aku benar-benar pusing untuk memilih cerita mana yang ingin aku tuliskan mengingat hidupku sama sekali tak menarik untuk di baca.
            Nyaris! Semuanya monoton. Yang kutahu hanya tangis. Aku bahkan tak mengenal kata tawa. Aku merasa kata itu, hanya digunakan untuk orang-orang yang memiliki kehidupan bukan untuk orang sepertiku. Orang yang tiap harinya melihat wajah duka seolah-olah mereka menungguku untuk mati. Atau prihatin atas kematian yang akan mendatangiku. Ohh … Entahlah! Aku tak tahu.
            Tapi … Aku tetap ingin bercerita. Ini tentang Andri. Karena sejak kedatangannya semuanya berubah. Dia tampan dan memukaukan. Melihatnya membuatku berpikir aku orang yang sangat beruntung karena sebelum melihat malaikat pencabut nyawa, Tuhan memberikanku kesempatan untuk melihat bagaimana rupa malaikat sesungguhnya.
              Kurasa aku harus memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk diriku sendiri. Aku mencintainya, dan sekarang dia membenciku. Drama yang sempurna bukan? Saat aku mengatakan bahwa dia pacarku, tak ada maksud apa-apa. Aku memang berharap seperti itu. Tapi bukan harapan itu yang kudapat melainkan penolakan. Aku berbohong padanya dan aku berbohong pada diriku sendiri. Andai aku punya kesempatan aku ingin mengatakan yang sejujurnya. Dan waktuku telah habis. Aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari kata mereka, malaikat berbaju putih yang tak bisa menolongku untuk tetap hidup. Aku mengahabiskan tiga hari untuk bersamanya, dan tiga hari untuk mengenangnya. Karena ini akhir dari segala ceritaku yang ingin aku ceritakan.
            Aku meremas kertas yang tadi diberikan oleh Mamanya Hinata. Rasanya sama saja, aku juga merasa hatiku teremas. Sakit sekali! Kemudian aku terduduk dan bersandar di dinding, mau tak mau aku mengakui kalau aku menangis. Ternyata aku memang tak tahu segala tentangnya, bahkan penyakit yang selalu menggerogoti badannya pun aku tak tahu. Aku ingin pergi ke hamparan Dandelion itu lagi, dan berharap di sana ia sudah menungguku.

Sinopsis

                Aku menunggumu di hamparan Dandelion. Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku
Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
Ini semua tentang Hinata.
Karena aku tahu, dia pusat dari segala orbitku.
Tapi sejak tarian Dandelion di hari Minggu yang dia janjikan, itu mengubah segalanya. Andai saja aku bisa membaca segala tanda-tanda dari tarian Dandelion yang juga merupakan tarian ekspresinya. Andai aku tahu bahwa tarian Dandelion yang semakin lama meninggalkanku adalah tujuannya.
Aku bertanya-tanya apakah kata-kataku ambigu? Terlalu banyak  kesalahan dalam setiap interaksi yang ada. Aku merasa banyak lubang di setiap latar yang menghadirkan kita berdua. Meskipun aku baru menyadarinya.
Andai saja aku sedikit peka. Pasti kita masih berada di satu cerita yang sama.
Tapi takdir kita sudah jelas. Cerita itu telah mengalir. Dan Sketsa kehidupan telah terpampang. Tapi aku tak pernah sanggup untuk berjalan dan menggapai epilog yang aku sendiri takut untuk menapakinya. Aku pengecut.

 

 

Tarian Dandelion

oleh Oktovia Rezki Peverell pada 25 Februari 2012 pukul 16:13 ·
Tarian Dandelion
Karya : Novi Handayani

            Ini hidupku tapi bukan ceritaku. Bahkan hidupku nyaris tak ada artinya jika dibandingkan dengan cerita yang akan aku tuliskan. Ini tentangnya yang tak pernah bisa aku gapai. Tentangnya yang hanya demi dirinya aku rela memberikan nafasku, tapi aku tahu semuanya tak semudah yang aku mau. Karena aku dan dia berbeda.
            Namanya Hinata.
            Aku bertemu dengannya dua tahun yang lalu, saat aku dan keluargaku pindah ke Bandung, waktu itu aku kelas dua SMA. Aku tak tahu pasti, tapi kurasa inilah prolog ceritaku karena bermula dari sinilah alur ceritaku mengalir begitu saja tanpa pernah aku duga. Layaknya sebuah cerita, dia memang benar-benar sosok perempuan yang digambarkan dalam semua buku cerita tentang keindahan. Rambutnya hitam sepinggang terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Matanya sipit dan setiap dia tersenyum ada lesung pipi yang tersembul di kedua pipinya. Manis sekali. Tutur katanya lembut, seperti wanita Jawa meskipun yang kutahu dia sama sekali tak memiliki keturunan darah Jawa.
            “Aku menunggumu di hamparan Dandelion,” Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku.
            Aku tersenyum menanggapi permintaannya. Dan Minggu itu, aku pergi ke hamparan Dandelion yang dia maksud. Saat tiba di sana, aku melihatnya sedang duduk menungguku. Dia mengenakan dress warna putih bersih dengan rambut terurai. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan segala pesonanya. Jadi dengan hati berdebar aku mendatanginya dan duduk di sampingnya.
            “Kau terlambat lima belas menit,” Katanya dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan Dandelion yang memukau.
            “Maaf,” aku menyesal telah membuatnya menunggu.
            “Kumaafkan,” katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku menatap matanya yang bening dan ritme detakan jantungku bertambah cepat. Aku bisa melihat ada rona merah di sekitar pipinya dan dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan.
            Hening! Aku tak tahu harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang beku ini. Mulutku serasa terkunci dan aku mengerang tertahan. Hanya dia satu-satunya perempuan yang membuatku tak berkutik seperti ini. Aku membencinya karena aku tak bisa menolak pesonanya sehingga terjerat dalam ketidaknormalan ini. Tiba-tiba angin berhembus kencang, meniup rambutnya dan beberapa Dandelion. Aku bisa melihat senyuman yang terukir dari bibirnya, dan itu membuatku merasa seribu kali lebih baik. Biarlah keheningan ini menelanku asal aku bisa merasakan romantisme tanpa bahasa yang menjabarkan semuanya. Hingga matahari kembali ke peraduannya.
            “Sudah sore, aku mau pulang. Terimakasih karena telah menemaniku di sini,” Katanya sambil memetik beberapa tangkai Dandelion sebelum tersenyum padaku.
            Aku membalas senyumnya, “Dengan senang hati.”
            Lalu kami pulang, rumahnya tepat berada di depan rumahku. Saat dalam perjalanan, dia masih tak juga mengatakan apapun. Dan kali ini diamnya mengusikku. “Kau kenapa?” tanyaku.
            Dia menatapku bingung. “Memangnya aku kenapa?”
            “Dari tadi kau diam terus.”
            Dia tak langsung menjawab dan saat kami telah tiba di depan rumahnya dia berkata, “Aku merasa nyaman dengan diamku. Itu saja!” dia langsung keluar dari dalam mobil, “Bagaimana pun juga, aku senang kau menemaniku. Selamat malam.”
            Aku menatap punggungnya yang semakin lama semakin mengecil dan menghilang saat dia sudah masuk ke dalam rumah. Aku menarik napas panjang sebelum memarkirkan mobilku dan masuk ke dalam kamar. Aku melihat lampu kamarnya menyala, dan itu membuatku terdiam. Aku hanya berdiri terpaku dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
            Tapi aku semakin takut, saat keesokan harinya dia menelponku dan berkata akan menungguku di Taman Kanak-Kanak saat aku sedang berlatih basket. Aku tak tahu jenis ketakutan apa yang tengah melandaku. Irasional mungkin, karena jelas-jelas tak ada yang perlu ditakutkan. Jadi aku putuskan akan menemuinya di Taman Kanak-Kanak.
            “Deri, maaf aku tak bisa ikut latihan. Aku harus pergi.”  Kataku meminta izin.
            “Perempuan mana yang membuatmu meninggalkan latihan kita?” Aku melihatnya tersenyum sinis dan aku ingin sekali menghajarnya.
            “Bukan urusanmu!” Aku mendecih dan meninggalkan lapangan basket sebelum aku benar-benar tergoda untuk memukulnya.
            “Tentu saja itu urusanku. Lomba sudah di depan mata dan kau meninggalkan latihan hanya untuk berkencan.”
            Aku berhenti sejenak untuk memikirkan kata-katanya. Sebersit perasaan bersalah muncul dalam hatiku, tapi itu tak mengubah keputusanku. Hinata sudah menungguku dan akan tetap menemuinya.
            Saat aku tiba di Taman Kanak-kanak, aku melihatnya duduk di atas ayunan. Dia mengenakan dress warna putih sepanjang lutut dengan rambut di kepang satu. Aku mengerutkan kening, berapa banyakkah bajunya yang bewarna putih?
            “Hey, apa aku terlambat?” Tanyaku sembari duduk di sampingnya.
            Dia memandangku lembut, “Kau sedang latihan?”
            Aku bertanya-tanya dari mana dia tahu. Kemudian aku teringat aku masih mengenakan baju basket. Seharusnya aku berganti pakaian dulu. “Sudah selesai,” Dustaku.
            “Aku minta maaf, kau pasti haus.” Dia mengeluarkan sebotol air minum dari tasnya dan memberikannya padaku. Kuterima dengan senang hati dan langsung meneguknya sampai habis.
            “Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK,” Katanya sambil tersenyum lembut dan mengamati segerombolan anak-anak yang tengah bermain bola.
            “Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
            “Mereka benar-benar makhluk yang menggemaskan. Pasti menyenangkan rasanya bila tiap hari dikelilingi dengan wajah tanpa dosa yang tak pernah memikirkan stratifikasi dalam kehidupan”
             Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi tak urung jua aku mengangguk. Jadi sesorean itu kami menghabiskan waktu dalam diam untuk mengamati anak-anak itu hingga tak ada lagi anak yang bermain. Dan setelah melihat mega-mega  merah di langit, dia mengajakku pulang.
            “Terimakasih untuk hari ini,” Katanya sebelum masuk ke dalam rumah. Aku bisa melihat lesung pipinya yang selalu aku nantikan saat dia tersenyum.
            “Sama-sama.” Dan dia berbalik meninggalkanku di depan rumahnya.
            Aku menutup mataku sambil berusaha mengendurkan sarafku yang tegang. Aku merasa lelah sekali meskipun aku tak tahu apa penyebabnya. Kali ini aku tak tahu, akan menantikan apa esok pagi saat aku terbangun.
¥¥¥
            “Aku menunggumu di pusat perbelanjaan.” Suara Hinata masih berdengung di telingaku. Aku semakin tak mengerti apa maunya. Beribu pertanyaan mampir ke dalam benakku, apakah dia akan seperti hari-hari sebelumnya. Mengajakku pergi dan mendiamkanku. Aku meremas rambutku frustasi.
            “Aku harus pergi,” Kataku sambil mengambil baju ganti dan memakainya.
            “Pergi saja!” sahut Deri pedas.
            Baiklah, aku tahu kalau aku sekarang sudah benar-benar keterlaluan karena tidak ikut latihan. Tapi membayangkan Hinata di sana menungguku sendiri, itu adalah mimpi terburuk yang pernah aku alami. “Maaf, tapi aku janji kita akan menang.”
            Setelah selesai memakai baju, aku langsung ke parkiran dan mengambil mobilku untuk menemui Hinata. Saat aku tiba di sana, seperti biasa dia sudah menungguku. Tapi kali ini, dia tidak mengenakan dress warna putih melainkan celana panjang warna biru dan baju warna Ungu. Rambutnya diikat menjadi satu di sebelah kanan. Sangat kekanak-kanakan. Tapi menurutku dia imut sekali.
            “Maaf merepotkanmu,” Hinata langsung tersenyum manis saat aku berjalan ke arahnya.
            Aku menggeleng dan mulai mengancamnya, “Tapi aku akan benar-benar meninggalkanmu jika kau mengajakku hanya untuk menjadi patungmu.”       
            Dia merengut, “Tak akan. Kau tenang saja.”
            “Baiklah, sekarang kita mau ke mana?” Tanyaku.
            Mata Hinata berbinar senang saat mendengar pertanyaanku. Kemudian dia menarik tanganku keluar dari pusat perbelanjaan. “Aku tahu, kau akan mengabulkan permintaanku. Aku ingin jalan-jalan.” Aku berhenti jalan, dan Hinata juga menghentikan jalannya. “Ada apa?”
            “Kurasa sebaiknya aku mengambil mobil du…”
            “Aku mau jalan, Andri! Bukan naik mobil.” Katanya sambil melepaskan tanganku. Kemudian dia berjalan duluan di depanku dan aku langsung menyusulnya.
            “Kau marah?”
            “Untuk apa? Aku mau ke jembatan sana. Kau mau ikut tidak?” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan  ikut barjalan di sampingnya. Aku bisa mendengar Hinata tengah bersenandung kecil. Tampaknya dia sedang bahagia.  Mau tak mau aku ikut tersenyum senang. “Sudah lama sekali aku tak menghirup udara luar,” Katanya.
            “Aku senang sekali mendengarnya. Kalau aku jadi kau aku tak akan pernah home schooling. Percaya padaku, kau akan menghirup udara luar tiap hari.”
            Aku melihatnya menghentikan langkahnya, dan aku juga menghentikan langkahku. Dia menatapku lama sekali sebelum berjalan menuju ke trotoar dan duduk di situ. “Aku tak punya pilihan. Dan tak akan pernah punya pilihan. Karena apa yang aku jalani itu pilihan terbaik.”
            “Aku tak mengerti.” Kataku sambil menatap matanya.
            Hinata tersenyum ke arahku, dan menunjuk beberapa anak jalanan. “Kau tahu, mereka tak pernah meminta untuk menjadi seperti mereka. Dan yang mereka lakukan adalah jalan terbaik meskipun mereka tak suka. Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.”
            Aku mencoba menyerap segala kata-katanya dan mengumpulkan ke dalam otakku sehingga aku bisa menyimpulkan sesuatu. Tapi tak ada kesimpulan apapun yang aku dapatkan, hanya sebuah pernyataan bahwa aku tak pernah mengenal Hinata. Masih begitu banyak teka-teki yang ada di setiap sudut ceritanya.
            Jadi sore itu, kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang hingga aku melihat sadar hari sudah petang ,“Ayo pulang,” Ajakku sambil menggandeng tangannya. Dia diam saja dan saat kami sudah berada di parkiran mobil, aku benar-benar terkejut saat melihat wajahnya sepucat Vampir. “Hinata kau tak apa-apa? Mukamu pucat.”
            “Aku hanya kedinginan saja.” Dia memeluk badannya sendiri dan aku langsung melepaskan jaket yang aku pakai dan menyuruhnya untuk memakai jaketku. “Teri…ma… kas…ih.” Kata Hinata terbata-bata. Dia menangis dan itu membuatku mematung. Ada apa dengannya? Melihat tangisannya, dadaku terasa sesak dan aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. Sedikit berharap dia bisa lebih tenang.
            “Hinata…”
            Sebuah suara mengagetkanku dan Hinata langsung melepas diri pelukanku. Aku menatap laki-laki yang bisa dibilang mengganggu kami dengan pandangan tidak suka, di sampingnya berdiri seorang perempuan manis dengan rambut ikal.
            “Rehan? Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Hinata sambil menyapukan jemarinya di matanya, untuk menghapus jejak-jejak air mata.
            “Tentu saja kencan. Kenalkan ini pacarku, namanya Abel. Siapa yang sedang bersamamu? Pacarmu?” Tanyanya ingin tahu.
            “Iya, dia pacarku.” Jawab Hinata pelan. Aku menatapnya tak percaya. “Namanya Andri. Kurasa kami harus segera pulang.”
            “Oh, kalau begitu kami pergi dulu.” Kata laki-laki yang bernama Rehan itu sambil meninggalkan kami.
            Setelah mereka benar-benar tak terlihat, aku memandang Hinata tajam, “Kenapa kau bilang padanya kalau aku pacarmu?”
            Aku bisa melihat ekspresi terluka dari wajah Hinata, dan itu membuatku menyesal telah menanyakan hal itu padanya. “Kau keberatan?”
            “Tidak!” tentu saja tidak. Aku sangat mencintaimu Hinata. Benar-benar mencintaimu. “Tapi beri aku satu alasan agar aku bisa mengerti apa yang terjadi. kau benar-benar aneh akhir ini. Dua hari yang lalu kau mengajakku pergi dan mendiamkanku. Hari ini tiba-tiba saja kau menangis dan mengaku kalau aku pacarmu. Ini membingungkan!”
            “Aku mencintainya.” Kata Hinata datar.
            “Siapa?” Sejujurnya aku tak mau tahu, saat dia mengatakan ‘nya’.
            “Rehan. Aku mencintainya. Dan aku menangis karena aku, tak sengaja melihatnya sedang bersama Abel. Aku sama sekali tak menyangka jika mereka akan menghampiriku, jadi maaf aku sama sekali tak berpikir saat mengatakan bahwa kau adalah pacarku.”
            Aku meremas rambutku. Benar-benar menyakitkan seolah rongga dadaku kosong tanpa isi. Hanya ada kehampaan. Dan semenit kemudian gelombang kemarahan melandaku dan menenggelamkanku ke dasarnya. Aku cemburu dan aku murka.
            “Ayo pulang!” Aku menarik tangannya dengan kasar.
            “Sakit Andri.” Hinata berusaha melepaskan tangannya dari peganganku. dan aku mendorongnya agar masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat air matanya mengalir. Dan aku sama sekali tak merasa kasihan pada orang yang bahkan tak pernah mempedulikan orang yang mencintainya.
¥¥¥
            Aku menatap lapangan basket dengan pandangan muram. Akhir-akhir ini keadaan semakin memburuk entah dalam artian apa. Aku lelah sekali, terlalu lelah untuk menghirup napas sekalipun. Aku lelah, karena aku berlatih sekuat tenaga agar aku tak mengecewakan mereka, tak seperti yang pernah aku lakukan membuat mereka kacau balau hanya demi sesuatu yang sia-sia. Aku lelah, menghindar dari Hinata. Aku tak tahu apa maunya, sejak malam yang tak pernah aku ungkit-ungkit itu dia berusaha menghubungiku dan mengucapkan kata maaf berkali-kali padaku.
            Jujur saja, aku bingung siapa yang salah di sini? Mungkin aku yang terlalu egois. Tapi aku benar-benar tidak sanggup melihat Hinata. Dia melukaiku.
            “Andri! Perlombaan sudah mau dimulai.” Kata Deri.
            Aku mengangguk dan berjalan ke lapangan. Saat itulah aku merasakan ada yang hilang. Meskipun aku tak tahu apa. Mungkin aku takut kehilangan kesempatan untuk menang. Baiklah, akan aku buktikan pada mereka bahwa aku bisa.
              Pertandingan tak membutuhkan waktu yang lama, dan seperti yang aku inginkan kami benar-benar menang. Menyenangkan rasanya. Deri mengajak kami satu tim ke kantin untuk makan-makan bersama.
            “Aku tak menyangka kita bisa menang. Mengingat Andri tengah kasmaran,” Agus berceloteh sambil menggigit gorengan.
            “Aku juga.” Timpal Deri, “Tapi Andri kan orang yang bertanggung jawab. Jadi percaya saja padanya.” dan mereka semua tertawa.
            Paradoks tingkat tinggi. Aku berjalan ke ruang ganti sendirian dan mengaktifkan ponselku untuk menghubungi Mama. Malam ini aku ingin menginap di rumah Deri saja. Sepertinya melegakan punya teman untuk bercerita.
            Sebelum aku menelpon Mama, ada satu pesan masuk ke dalam ponselku. Dan ternyata itu dari Mama.
            27/04/2011
            Pengirim : Mama
            Andri, cepat pulang Nak! Hinata dipanggil ke Rahmatulloh tadi jam lima sore.
¥¥¥
            Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
            Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi saat aku melihat orang berlalu lalang di depan rumah Hinata. Aku berharap saat masuk ke dalam rumahnya, Hinata akan menepuk bahuku dan tersenyum lembut. Miris! Hatiku beku dan aku butuh pelepasan. Tanganku membuka dasbor untuk mengambil sebungkus rokok. Tapi bukan sebungkus rokok yang aku gapai, melainkan seikat Dandelion yang telah kering. Hinata?
            Dandelion itu merosot jatuh dari tanganku dan aku lansung berlari masuk ke dalam rumah Hinata. Aku ingin mengajaknya ke hamparan Dandelion lagi. Aku tak peduli jika dia tak mencintaiku, aku akan tetap mencintainya sampai kapanpun.
            Aku terpaku saat tiba di ruang tengah milik keluarga Hinata. Di sana ada Mama, yang tengah memeluk Mama Hinata. Dan tepat di tengah ruangan, Hinata tertidur  pulas.
            “Kenapa dia tak merasa terganggu dengan semua kebisingan ini? Apakah mimpinya terlalu indah sehingga dia tak mau bangun lagi?” Tanyaku pada diriku sendiri dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
¥
Rasanya menyakitkan dan memuakkan! Kanker otak sialan. Aku bahkan tak sanggup melukiskannya dengan kata-kata. Aku juga tak tahu mengapa sekarang aku ingin segala kata-kata mengurai ceritaku, sebelum aku benar-benar pergi. Aku ingin punya satu cerita yang membuktikan bahwa aku pernah hidup. Tapi aku benar-benar pusing untuk memilih cerita mana yang ingin aku tuliskan mengingat hidupku sama sekali tak menarik untuk di baca.
            Nyaris! Semuanya monoton. Yang kutahu hanya tangis. Aku bahkan tak mengenal kata tawa. Aku merasa kata itu, hanya digunakan untuk orang-orang yang memiliki kehidupan bukan untuk orang sepertiku. Orang yang tiap harinya melihat wajah duka seolah-olah mereka menungguku untuk mati. Atau prihatin atas kematian yang akan mendatangiku. Ohh … Entahlah! Aku tak tahu.
            Tapi … Aku tetap ingin bercerita. Ini tentang Andri. Karena sejak kedatangannya semuanya berubah. Dia tampan dan memukaukan. Melihatnya membuatku berpikir aku orang yang sangat beruntung karena sebelum melihat malaikat pencabut nyawa, Tuhan memberikanku kesempatan untuk melihat bagaimana rupa malaikat sesungguhnya.
              Kurasa aku harus memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk diriku sendiri. Aku mencintainya, dan sekarang dia membenciku. Drama yang sempurna bukan? Saat aku mengatakan bahwa dia pacarku, tak ada maksud apa-apa. Aku memang berharap seperti itu. Tapi bukan harapan itu yang kudapat melainkan penolakan. Aku berbohong padanya dan aku berbohong pada diriku sendiri. Andai aku punya kesempatan aku ingin mengatakan yang sejujurnya. Dan waktuku telah habis. Aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari kata mereka, malaikat berbaju putih yang tak bisa menolongku untuk tetap hidup. Aku mengahabiskan tiga hari untuk bersamanya, dan tiga hari untuk mengenangnya. Karena ini akhir dari segala ceritaku yang ingin aku ceritakan.
            Aku meremas kertas yang tadi diberikan oleh Mamanya Hinata. Rasanya sama saja, aku juga merasa hatiku teremas. Sakit sekali! Kemudian aku terduduk dan bersandar di dinding, mau tak mau aku mengakui kalau aku menangis. Ternyata aku memang tak tahu segala tentangnya, bahkan penyakit yang selalu menggerogoti badannya pun aku tak tahu. Aku ingin pergi ke hamparan Dandelion itu lagi, dan berharap di sana ia sudah menungguku.

Sinopsis

                Aku menunggumu di hamparan Dandelion. Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku
Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
Ini semua tentang Hinata.
Karena aku tahu, dia pusat dari segala orbitku.
Tapi sejak tarian Dandelion di hari Minggu yang dia janjikan, itu mengubah segalanya. Andai saja aku bisa membaca segala tanda-tanda dari tarian Dandelion yang juga merupakan tarian ekspresinya. Andai aku tahu bahwa tarian Dandelion yang semakin lama meninggalkanku adalah tujuannya.
Aku bertanya-tanya apakah kata-kataku ambigu? Terlalu banyak  kesalahan dalam setiap interaksi yang ada. Aku merasa banyak lubang di setiap latar yang menghadirkan kita berdua. Meskipun aku baru menyadarinya.
Andai saja aku sedikit peka. Pasti kita masih berada di satu cerita yang sama.
Tapi takdir kita sudah jelas. Cerita itu telah mengalir. Dan Sketsa kehidupan telah terpampang. Tapi aku tak pernah sanggup untuk berjalan dan menggapai epilog yang aku sendiri takut untuk menapakinya. Aku pengecut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar