Kamis, 19 Juli 2012

Klaim Budaya Indonesia oleh Malaysia (Kajian Kritis Klaim Tari Tor-Tor)


Klaim Budaya Indonesia oleh Malaysia (Kajian Kritis Klaim Tari Tor-Tor)[1]
(Oleh Danu Wijaya, Oktovia Rezki N.H, dan Wahyu Andika Romadhoni)[2]

A.     Pendahuluan
Masyarakat di tanah air kembali heboh dengan perselisihan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Kali ini giliran Tari Tor-Tor dan Gordang Sambilan. Dua budaya Mandailing ini mendapat rencana  akan diregistrasikan ke dalam warisan budaya Malaysia agar dapat dilestarikan”[3].
Fenomena di atas tidak lazim lagi kita temukan sekarang, polemik Indonesia Malaysia masih terus mencuat akhir-akhir ini. Berbagai media banyak memberitakan perihal masalah Indonesia Malaysia. Pasalnya Negeri Jiran tersebut telah melakukan sejumlah pengklaiman budaya Indonesia. Masyarakat di tanah air kembali dibuat gerah dengan perselisihan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Kali ini Negeri Jiran itu akan mendaftarkan Tari Tor-Tor dan Gordang Sambilan, dua budaya Mandailing, dalam warisan budaya mereka[4].
 Indonesia mempunyai kekayaan budaya yang berlimpah dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan Malaysia dalam hal budaya tidak seberapa besar kekayaannya, apabila di banding dengan bangsa sebesar Indonesia[5]. Melihat kekayaan budaya Indonesia yang begitu besar itulah yang membuat Malaysia mulai membangun jati dirinya dengan mengambil kebudayaan Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir Malaysia sudah 7 kali mengklaim budaya Indonesia sebagai warisan budaya mereka. Klaim Malaysia dimulai pada November 2007 terhadap kesenian Reog Ponorogo. Selanjutnya pada Desember 2008, saat itu Malaysia mengklaim lagu "Rasa Sayange", disusul dengan batik yang diklaim Malaysia pada Januari 2009. Selanjutnya ada Tari pendet dari Bali dan alat musik angklung yang juga diklaim oleh mereka[6].
 Sebagai masyarakat Indonesia, kita tidak bisa menutup mata jika  Indonesia memiliki budaya yang sangat banyak. Sedikit mengutip dari Kompasiana, Buku Ilmu Budaya Dasar Universitas Gunadarma bahwa budaya yang seharusnya jadi kebanggaan bangsa Indonesia itu terkadang sering dilupakan dengan masuknya budaya modern.
Kebudayaan yang dilupakan oleh bangsa inilah yang membuat momok  besar bagi Malaysia untuk melakukan sejumlah klaim budaya. Termasuk salah satu kesempatan besar yang diambil oleh Malaysia adalah Tari Tor-Tor. Berangkat dari hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengungkapkan misteri dibalik pengklaiman Tari Tor-Tor ini, sebenarnya apa tujuan Malaysia dibalik pengkaliman  tari Tor-Tor ini? Lantas apa yang menyebabkan Negeri Jiran tersebut begitu tertarik mengklaim budaya Indonesia? Lalu bagaimanakah solusi terbaik yang bisa ditawarkan untuk menghadapi polemik Indonesia-Malaysia ini?
B.      Isi
1.      Sejarah Klaim Budaya Indonesia oleh Malaysia
Issue klaim budaya ini sudah dimulai sejak zaman dahulu kala daerah (kawasan Asia Tenggara terutama termasuk tanah melayu) ini berubah-ubah kekuasaan serta rajanya. Dahulu ada kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Sriwijaya kekuasaannya meliputi Sumatera Bagian Timur termasuk semenanjung malaka (Malesa Barat saat ini). Kemudian daerah ini diserang oleh Majapahit. Dan akhirnya daerah kekuasaan Sriwijaya ini dikuasai Majapahit.
Majapahit inilah yang sering menjadi lagu dan dongengan serta lamunan indah yang dibanggakan sebagian rakyat Indonesia bahwa “dahulu” pernah ada kekuasaan yang pernah besar menguasai Asia tenggara hingga Filipina dan berpusat di Jawa. Sementara di sisi lain di Sriwijaya sendiri Pangeran Sriwijaya Parameswara dengan para pengikutnya juga mendirikan kerajaan Melaka membentuk kesultanan Melaka. Ketika Kasultanan itu berkembang, Majapahit sudah mulai memudar sekitar 1400-an. Pusat Melaka ini ada di Negeri Melaka saat ini. Kesultanan Melaka inilah yang selalu menjadi dongengan indah dan manis bagi Rakyat Malesa saat ini[7].
Saling klaim daerah ini sudah ada sejak zaman raja-raja dahulu. Sangat wajar kalau ada sedikit kekesalan Sultan Melaka yang terusir dari Sriwijaya yang berpusat di Palembang ini. Jadi, sewajarnya kita sebagai bangsa Indonesia tidak perlu heran lagi jika sekarang sedang maraknya pengklaiman budaya yang dilakukan oleh Negeri Jiran tersebut. Karena pengklaiman tersebut sudah terjadi sejak zaman nenek moyang kita hidup dan sebenarnya Malesa sedang melakukan proyek utama untuk mencari jati diri mereka apakah akan menjadi bangsa Melayu, Bangsa India atau Bangsa China. Hanya waktulah yang akan menjawab semua itu.
2.      Penyebab Terjadinya Klaim Tari Tor-Tor
Dibalik pengklaiman tari Tor-Tor yang dilakukan oleh Malaysia itu sendiri, ternyata hanya ada empat akar permasalahan yang memicu terjadinya klaim budaya tersebut. Pertama Malaysia merupakan negeri yang  sedang mencari jati diri budayanya. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini Malesa memang sedang “moncer” kata orang jawa, bahasa gaulnya sedang jadi “belalang” alias “naik daun“. Namun karena memang secara sejarah Malesa tidak memiliki hal yang khusus maka Malesa pun harus memulai dengan mencari jati dirinya dengan mencoba mengklaim sana-sini.
Kedua Malesa masih menggunakan cara lama untuk “mendekatkan diri” dengan Indonesia, mereka menarik minat dengan merayu menggunakan issue serumpun (melayu) dan seiman (muslim). Malaysia telah mengetahui kelemahan Indonesia yakni tidak kuat menjaga identitas Melayu. Karena itu, Malaysia dengan mudah mengakui budaya Indonesia sebagai bagian budaya negaranya.
Ketiga pemerintah indonesia baru bertindak setelah kebudayaannya diklaim oleh negara lain dan keempat  sebagian besar masyarakat Indonesia belum menjadikan usaha menjaga dan melestarikan sebagai sebuah kebutuhan. Misalnya, saat kita berusaha untuk melestarikan tari Tor-Tor di masyarakat, kita juga harus mengetahui asal-usul sejarah tari Tor-Tor tersebut dan mengetahui makna yang terkandung di dalam tarian tersebut. Dengan demikian, masyarakat akan teredukasi dengan baik soal kekayaan budaya yang dimiliki.
            Dari keempat akar permasalahan pengklaiman tersebut, Malaysia sebenarnya memiliki tujuan lain dibalik semua itu. Jika kita melakukan analisa, Malaysia melakukan klaim tari Tor-Tor ini, sepertinya sangat hati-hati sekali. Hal itu terlihat dari prosedur yang diterapkan sebelum mengklaim. Malaysia membuat sejumlah jadwal yang rutin, konsisten, dan terjadwal dengan baik. Sehingga, targetnya Malaysia bisa mempromosikan kegiatan seni dan budaya tersebut untuk menggaet turis asing ke negaranya. Karena logikanya begini, ketika turis dari berbagai penjuru dunia ingin menyaksikan pertunjukan budaya dari berbagai suku bangsa, terutama di wilayah Asia atau Asia Tenggara, maka belum tentu turis itu bisa menemukan pertunjukan yang ingin ditonton itu di negara asal pemilik budaya itu, misalnya Indonesia. Bisa saja di negara asalnya, pertunjukan budaya itu tidak dilakukan dengan rutin, tidak ada jadwal pertunjukan yang pasti, dan tidak ada informasi dan promosi yang memadai.

   Solusi untuk Mengatasi Pengklaiman Tari Tor-Tor
    Terkait dengan klaim tari Tor-Tor oleh Malaysia, tidak ada cara lain yang bisa kita tempuh untuk menyelamatkan kesenian asal Mandailing tersebut. Peran generasi muda sebagai penyelamat budaya dalam hal ini sangat dibutuhkan, karena dengan ide-ide yang kreatif dan cemerlang tersebut para generasi muda mampu membantu pemerintah dalam menyelesaikan kasus klaim tari Tor-Tor ini. Tapi anehnya, sebagai anak bangsa kadang kita tidak mengetahui dan kadang melupakan kebudayaan sendiri, sementara orang luar negeri malah tertarik dengan kebudayaan Indonesia yang unik, menarik dan khas. Hal inilah yang terkadang membuat rasa solidaritas diantara generasi muda kian menurun. Pudarnya nilai solidaritas inilah yang sering membuat kebudayaan kita sering diklaim oleh bangsa lain. Sebenarnya jika kita lebih bisa mencintai dan mengenal Indonesia lebih dekat lagi maka tidak akan terjadi hal seperti ini dan Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan keanekaragaman flora dan fauna serta hasil tambang dan hasil alam yang berlimpah dan ada yang menyebut negara Indonesia sebagai pulau Atlantis. Untuk itulah sudah seharusnya generasi muda yang meneruskan budaya yang sudah mulai terlupakan tersebut, dalam hal ini adalah tari Tor-Tor. 
     Dalam menanggapi kasus klaim tari Tor-Tor ini, pemerintah Indonesia harus segera membuat suatu Undang-Undang yang mengatur mengenai kebudayaan tradisional agar dapat melindungi aset kebudayaan tradisional milik Indonesia khususnya dalam hal ini adalah Tari Tor-Tor sehingga tidak diklaim oleh pihak lain. Dengan adanya pengukuhan didalam suatu Undang-Undang maka kebudayaan tersebut telah memiliki legitimasi hukum yang kuat.  Peran generasi muda dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk mensosialisasikan Undang-Undang kebudayaan yang telah dibentuk oleh Pemerintah tersebut.
      Banyak sekali kebudayaan yang sangat unik dan menarik dari Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan banyak provinsi dari Sabang hingga Merauke. Negara tercinta Indonesia patut bangga dengan keanekaragaman seni dan budaya yang tersebar di setiap daerah dan provinsi, tetapi keberagaman budaya ini tentunya tidak akan mengurangi semangat solidaritas diantara para pemuda. Budaya Indonesia merupakan salah satu bentuk kepribadian bangsa kita. Pendeknya jika bangsa Indonesia tercerai berai maka budaya Indonesia tidak akan bisa terbentuk dan bersatu. Begitu pula kepribadian Indonesia lama-lama akan terhapus. Apabila para pemuda di setiap daerah yang ada di Indonesia bersatu untuk mendukung kegiatan sosialisasi ini maka kasus klaim budaya seperti ini tidak akan terjadi lagi diantara Indonesia dan Malaysia.
       Kegiatan sosialisasi dari Undang-Undang kebudayaan ini dapat dilakukan oleh para pemuda melalui pembentukan media komunikasi diantara kedua negara Indonesia dan Malaysia. Media komunikasi tersebut nantinya dibentuk sebagai semacam media untuk berkomunikasi di antara kedua negara sehingga jika ada masalah-masalah budaya bisa dibicarakan secara lebih intensif, lebih langsung, dan lebih bersahabat. Dengan begitu, tidak menimbulkan kesalahpahaman atau letupan-letupan di kalangan masyarakat yang mungkin ada salah pengertian mengenai masalah itu. Media komunikasi yang digagas itu di antaranya menghidupkan kembali acara titian muhibah yang sebelumnya pernah diselenggarakan kedua negara. Siaran berita kedua negara pun digagas dihidupkan kembali agar bisa mempererat tali persaudaraan di antara ke dua negara tersebut. Sebenarnya perselisihan antara kedua negara tersebut sangat tidak diinginkan oleh kita para generasi muda, karena hanya akan menimbulkan perpecahan kedua bangsa. Untuk itulah adanya media komunikasi merupakan solusi yang tepat dan diharapkan mampu menumbuhkan semangat solidaritas kedua bangsa melalui peran pemudanya.
       Para pemuda juga dapat mengambil peran melalui acara titian muhibah yang diselenggarakan oleh kedua negara, sehingga acara yang dibawakan bisa dikemas dengan semenarik mungkin dan tidak meninggalkan kesan bosan bagi para pemuda zaman sekarang. Acara titian muhibah tersebut tidak hanya berupa siaran berita antar kedua negara tetapi juga sebagai bentuk acara hiburan suatu acara hiburan yang menampilkan penyanyi Indonesia dan Malaysia. Pada acara itu, penyiar televisi dari dua negara bisa saling berkomunikasi secara langsung. Indonesia menampilkan para penyanyi yang terkenal tidak saja di Tanah Air, tetapi juga di Malaysia. Malaysia juga menghadirkan penyanyinya yang dikenal luas di Indonesia. Benar-benar suatu titian muhibah. Bangsa serumpun bisa tampil menghibur bersama-sama. Dengan begitu para pemuda akan lebih mengetahui kebudayaan negaranya sendiri dan lebih mencintai solidaritas antar kedua bangsa. Dengan adanya dua solusi tersebut, ada baiknya kita berpikir jika klaim budaya ini merupakan moment positif untuk menumbuhkan semangat solidaritas antar kedua bangsa.
Kesimpulan
1. Akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya pengklaiman tari Tor-Tor oleh Malaysia yaitu: Malaysia merupakan negeri yang sedang mencari jati diri budayanya, alasan serumpun dan seiman (muslim), Indonesia baru bertindak setelah diklaim, dan masyarakat Indonesia tidak menjadikan budaya sebagai suatu kebutuhan. Dan tujuan dari pengklaiman oleh Malaysia tersebut tidak lain untuk mendapatkan keuntungan dengan menggaet wisatawan asing ke ngerinya .
2.Solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penggagasan media komunikasi Indonesia-Malaysia dan pembuataan Undang-Undang Kebudayaan sebagai legitimasi hukum yang kuat.


[1] Diajukan untuk Essay Writing Competition OIS 2012
[2] Siswa-siswi SMAN 2 SEKAYU, KAB.MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN
[7] I Wayan Badrika, Sejarah untuk SMA Kelas XI Program Ilmu Alam, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, hlm.47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar