Mencintai Kekayaan Sejarah di Kota Pempek
Waa..ngak kerasa tahun ajaran baru segera tiba sebentar lagi. Ternyata masih ada serentetan tugas yang harus diselesaikan oleh kami para siswa yang duduk di kelas XI.IPA ini, ya..ternyata guru kesenian kami ms.meri memberikan tugas untuk membuat video dokumenter tentang objek2 bersejarah. Awalnya ini cukup berat untuk kami para siswa yang sedang dilanda demam ujian karena 2 minggu lagi kami akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Tetapi, teman2 ku justru nyeletuk "Kenapa kita ngak coba ke Palembang aja bwt nyari objek bersejarah itu." Mmm..awalnya kami sih, ngak setuju karena waktunya ngak begitu cocok bwt kami para siswa yang sedang memiliki banyak ujian. Tetapi karena ingin sekedar refreshing dari kepenatan belajar akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke tempat2 tersebut.
Usul punya usul akhirnya kami pun pergi ke beberapa tempat yang ada di Kota Pempek itu. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Museum Balaputra Dewa. Kami berangkat pada tanggal 10 Juni 2012, hanya ada waktu 1 hari bagi kami untuk membuat tugas itu karena besoknya kami harus belajar seperti biasa. Tepat pukul 5 pagi kami berangkat dari kota langit ini (baca: Sekayu)..ahhahaa, temen2 aku sih biasanya bilang kalau kota Sekayu yang terletak di SUMSEL ini adalah kota Langit. Ntah, apa yang membuat mereka memberi nama Sekayu sebagai Kota Langit, mungkin diambil dari singkatan SEKAYU itu sendiri yang memang klw disingkat menjadi "SKY" yang artinya langit. Jarak kota Sekayu ke Palembang tidak cukup jauh hanya memakan waktu 3 jam bagi kami untuk sampai ke sana.
Perjalanan Ke Kota Palembang
1.Museum Balaputra Dewa
Museum ini dibangun
pada tahun 1877 dengan arsitektur tradisional Palembang di atas area seluas
23.565 meter persegi dan diresmikan pada tanggal 5 November 1984. Pada mulanya
museum ini bernama Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan, selanjutnya berdasarkan
SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1223/1999 tanggal 4 April 1990.
Museum ini diberi nama Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan “Bala Putra
Dewa”.
Nama Bala Putra berasal dari nama seorang raja Sriwijaya yang memerintah pada
abad VIII-IX yang mencapai kerajaan maritime. Di museum ini terdapat koleksi
yang menggambarkan corak ragam kebudayaan dan alam Sumatera Selatan. Lokasinya
terdiri berbagai benda histrografi, etnografi, feologi, keramik, teknologi
modern, seni rupa, flora dan fauna serta geologi. Selain terdapat rumah limas
dan Rumah Ulu Ali, kita dapat mengunjunginya dengan menggunakan kendaraan umum
trayek km 12.
Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang dulu dikenal dengan Museum Balaputra Dewa dibangun pada tahun 1978 dan diresmikan pada 5 November 1984. Museum ini dikelola oleh Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera Selatan.
Musem Negeri Provinsi Sumsel ini dibangun dengan arsitektur tradisional Palembang pada areal seluas 23.565 meter persegi. Di museum ini terdapat sekitar 3.800 koleksi, terdiri berbagai macam jenis koleksi yang diklasifikasikan menjadi 10 jenis, di antaranya Geologika, Biologika, barang-barang tradisional Palembang, ofset binatang dari berbagai daerah di Sumatera Selatan dan beberapa miniatur rumah di pedalaman. Terdapat pula replika prasasti dari arca kuno yang pernah ditemukan di Bukit Siguntang.
Selama ini museum cenderung dicitrakan sebagai bangunan ketinggalan zaman atau sepi sehingga suasananya membosankan, tetapi pihakmuseum telah memperbaikinya dengan memberikan kenyamanan kepada para pengunjung. Bagi masyarakat, keberadaan museum memberikan banyak manfaat.
Pada tahun anggaran 2010, Museum Negeri Sumsel melakukan kegiatan pendataan dan dokumentasi koleksi Arkeologika museum Balaputra Dewa Palembang. Hal ini dianggap penting karena memudahkan administrasi koleksi dan dapat menjadi literatur tulisan para peneliti, mahasiswa dan pelajar.
Secara periodisasi, koleksi arkeologi Museum Negeri Provinsi Sumsel ini (dulu Museum Balaputra Dewa) dapat diklasifikasikan menjadi tiga periodisasi masa, yakni masa pra sejarah, masa pra sriwijaya dan masa sriwijaya.
Museum terbuka untuk umum mulai pukul 09.00 sampai 14.00 kecuali hari Senin, dan khusus hari Minggu dibuka pada pukul 08.00-14.00 Wib. Setiap pengujung dikenakan biaya masuk sebesar Rp 1.500 per orang dewasa dan Rp 1.000 per anak-anak.
Dari pusat kota, lokasi museum ini dapat dicapai dengan kendaraan otolet, BRT atau taksi-taksi yang langsung ke halaman museum. Bagaimana ada yang tertarik ke Museum ini, kalian bisa pergi ke Jalan Sriwijaya I No.288 KM.5,5 Palembang jika kalian tertarik dengan wisata museum ini.
FOTO-FOTO di dekat Taman Museum Balaputra Dewa
This is me, kiki :)
Lihat ngak songket dibelakangnya..yeah..isn't it beautiful?
Lihat ngak songket dibelakangnya..yeah..isn't it beautiful?
Me and rima :D, eh..ada satu lagi arcanya ketinggalan
Mati gaya gw, ama si Gatu satu ini :P
Di depan pintu masuk ni,,,,,
2.Jembatan Ampera
Siapa yang tak tau dengan jembatan yang satu ini, kemegahan dari Jembatan Ampera ini sudah terkenal di seluruh pelosok negeri. Jembatan yang dibangun di atas sungai Musi ini memang sepintas seperti jembatan biasa pada umumnya, tetapi jembatan Ampera berbeda dengan Jembatan pada umumnya, jembatan ini memiliki banyak kisah-kisah Sejarah yang ada dibalik pembangunan jembatan ini.
Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.
Struktur
Panjang : 1.117 m (bagian tengah 71,90 m)
Lebar : 22 m
Tinggi : 11.5 m dari permukaan air
Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah
Jarak antara menara : 75 m
Berat : 944 ton
SEJARAH
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.
Keistimewaan
Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.
Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.
Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.
dikutip dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Jembatan_Ampera,
Rumah Rakit di tepian Sungai Musi, Unik Bukan?
Rumah rakit pada jaman dulu, masih asli banget Palembangnya :)
tambah bangga nii jadi rakyat Palembang dengan segala kekayaan budaya lokalnya
tambah bangga nii jadi rakyat Palembang dengan segala kekayaan budaya lokalnya
Ampera dimalam hari, isn't it beautiful?
Mata kami pun dimanjakan dengan pemandangan disebelah kanan dan kiri jembatan, ya ...betul sekali ada pemandangan sungai musi di sebelah kiri dan kanan sungai. Banyak sekali aktivitas penduduk yang dilakukan di atas sungai Musi ini. Nampaknya, Sungai Musi merupakan salah satu tombak perekonomian masyarakat Sumatera Selatan. Di sekitaran Ampera kita bisa menemukan objek wisata yang menarik seperti Rumah Rakit (rumah terapung yang berada di atas air), ada juga wisata kuliner yang bisa kita temukan di sekitaran sungai tetapi tenang saja kuliner-kuliner yang disajikan harganya sangat terjangkau bagi para wisatawan yang berkunjung dan sangat cocok sekali bagi kantong siswa-siswa SMA seperti kami...hahaha :D. Tidak hanya itu saja, bagi kalian yang tertarik dengan wisata air kalian bisa mencoba berkeliling sungai musi dengan menggunakan perahu motor yang disewakan oleh penduduk setempat dan tentunya juga masalah harga sangat terjangkau bagi para pengunjung. Pemandangan Ampera begitu menakjubkan jika dilihat pada waktu malam hari, oleh karena itu tak jarang para wisatawan juga banyak berkunjung ke sitaran Ampera ini pada malam hari. Setelah puas berkeliling Ampera kami pun perhi ketempat yang sangat menarik lagi di sekitar Ampera...kali ini lagi2 kami menuju ke Museum tetapi tenang saja jaraknya tidak terlalu jauh dari Ampera.
3. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Ya....welcome to museum sultan mahmud badaruddin II, kesan pertama datang ke Museum ini kerasa banget palembangnya. Soalnya Museum yang terletak tidak jauh dari Ampera ini menampilkan beragam kebudayaan Palembang yang semuanya di terangkum disini. Museum yang berbentuk rumah panggung ini tidak pernah sepi pengunjung, apa lagi jika dihari libur. Tiket untuk masuk ke museum ini juga sangat murah lo, hanya dengan Rp.2000 kita bisa memasuki museum ini. Ngak usah banyak cerita ya..kita langsung aja yuk masuk ke Museum ini.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II tampak depan
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang berada di seberang Sungai Musi ini memiliki bentuk asli bangunan tidak berubah dari masa awal pendiriannya. Lokasinya di Jalan Sultan Mahmud Badaruddin II No. 2, Palembang.
Di museum ini Anda dapat menikmati sekitar 556 koleksi benda bersejarah, mulai dari bekas peninggalan kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang. Nama Sultan Mahmud Badaruddin II dijadikan nama museum ini untuk menghormati jasanya bagi kota Palembang.
Museum ini berdiri di atas bangunan Benteng Koto Lama (Kuto Tengkurokato Kuto Batu) dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) memerintah. Berdasarkan penyelidikan oleh tim arkeologis tahun 1988, diketahui bahwa pondasi Kuto Lama ditemukan di bawah balok kayu.
Benteng ini pernah habis dibakar oleh Belanda pada 17 Oktober 1823 atas perintah I.L. Van Seven House sebagai balas dendam kepada Sultan yang telah membakar Loji Aur Rive. Kemudian di atasnya dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda. Pada masa Pendudukan Jepang, gedung ini dipakai sebagai markas Jepang dan dikembalikan ke penduduk Palembang ketika proklamasi tahun 1945. Museum ini direnovasi dan difungsikan sebagai markas Kodam II/Sriwijaya hingga akhirnya menjadi museum dan
Di dalam bangunan Museum
4.Kampung Kapiten
Kampung Kapiten
Tidak
tahu persis kapan pertama kali etnis tionghoa menginjakkan kakinya kali
pertamanya ke Palembang, banyak hal yang mesti digali dan diteliti kembali
sejarah awalnya etnis tionghoa masuk ke Palembang, menurut Oey eng sui salah
satu warga kampung kapitan etnis tionghoa, dari mulai 2005 sampai sekarang baru
mulai digali lagi sejarahnya, kampung kapitan adalah tempat awalnya etnis
tionghoa Kota Palembang bermukim dan berpusat disana. Tapi kejelasannya mesti
digali kembali.
”Kalau
berdasarkan silsilah temenggung TJua Ham Hin, sesepuh kami, berarti kampung
kapitan telah ada sebelum 1850, beliau sendiri generasi ke sepuluh dari leluhur
pertama kami, dan saya belum bisa menyebutkan silsilah dari awal, leluhur kami.
Dan saya adalah mantu dari
generasi ke 13, ”cerita pria yang sudah berambut putih ini.
Sejak
abad ke 19 sampai 20 kampung kapitan sekaligus nilai-nilai budaya dan
sejarahnya terkikis apalagi setelah zaman kemerdekaan, dulu pusat
perdagangannya berada di 10 ulu dan itu termasuk wilayah Tjua Ham Hin china town atau sekarang menjadi
sebutan kampung kapitan.
“Dulu kampung kapitan dikenal
sebagai kota cina yang disebut china town luas
wilayah kala itu adalah 20 hektar dan sepuluh ulu sekarang adalah pusat
perdagangannya. Hingga sekarang Peninggalan bangunan leluhur etnis tionghoa
yang tersisa adalah dua rumah panggung ini. Dulu ada tiga bangunan rumah
leluhur kampung kapitan etnis tionghoa sekarang tingal dua rumah yang satunya
sudah dijual, akibat masalah ekonomi dan terkikis oleh zaman,” tuturnya ketika
disambangi dirumahnya peninggalan leluhurnya.
Kampung
kapitan awalanya dihuni keluarga besar dari nenek moyangnya Tjua Ham Hin,
awalnya pasti datang pertama kali ke Palembang membawa keluarganya beserta
jajarannya, tukang masak, anak buah, dayang-dayangnya,” bisa-bisa ratusan orang
mendatangi tempat ini tapi sekarang telah menyebar ke berbagai daerah, dan
untuk kampong kapitan sendiri sekarang hanya tinggal belasan Kepala Keluarga
(KK),” Katanya.
“Sejalan
dengan waktu diantaranya terjadi perkawinan dengan penduduk setempat akhirnya
etnis tionghoa bercampur jadi satu dan keturunannya Tjua Ham Hin juga menyatu
menjadi rakyat biasa.
Ia juga menambahkan bahwa kampung
kapitan yang beretnis tionghoa khususnya generasi Tjau Ham Hin berasal dari
suku Provinsi Hok Kian Kabupaten ching chow, “asal muasalnya dari sana,”
tambahnya.
Memang
tak banyak yang bisa diceritakan dari sejarah awalnya kampung kapitan, karena
minimnya data dan informasi, tapi bila ditilik dari garis keturunan leluhurnya
yaitu generasi kedelapan Tjau Ham Him telah ada sekitar 1805, ia adalah leluhur
orang tionghoa Kota Palembang dan seorang temenggung keluarga dan leluhurnyalah
yang membawa etnis tionghoa ke Kota Palembang.
“Seorang temenggung pada zaman
Belanda memiliki kekayaan melimpah ruah. Kira-kira temenggung itu dibawah
walikota tapi diatas camat, kata Oei yang ragu menjelaskan setara dengan apa
kalau jabatannya zaman sekarang.
Di salah satu rumah di kampung ini juga ditemukan lukisan Kapiten yang konon katanya jika kita melihat dari 3 arah lukisan tersebut seolah2 melihat ke arah kita, percaya atau tidak silahkan buktikan sendiri untuk datang ke kampung kapiten ini.
Tempat peribadatan warga tionghoa
Lukisan Kapiten yang konon menyimpan cerita tersendiri
This is our team
Fiuuuh...akhirnya perjalanan yang melelahkan ini selesai juga. Terima kasih bwt kalian yang sudah mengikuti perjalanan kami dari awal sampai akhir. Ikuti terus cerita kami ini, sebagai anak sumsel saya merasa sangat bangga sekali, karena ternyata daerah saya menyimpan begitu banyak cerita sejarah dan ternyata sangat unik. Walaupun begitu masih ada stu tantangan lagi bagi kami generasi muda, yaitu mempertahankan dan terus melestarikan budaya tersebut agar tidak diklaim oleh bangsa manapun...
Go Indonesia, Go..Go..Go
ARIGATOU GOZAIMASU :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar