Rabu, 19 Juni 2013

Essay Budaya

TRADISI TAHUNAN MANDI BONGEN
(KAJIAN KRITIS TERHADAP ANCAMAN PERSATUAN DAN KESATUAN DI DUNIA)
Compiled By: Oktovia Rezki Nurhanafiah



“Hamparan pasir yang biasa disebut warga Sekayu dengan “bongen” ini dimanfaatkan warga sekitar untuk mandi. Warga Sekayu terutama muda-mudi justru memanfaatkannya untuk rekreasi dan bermain air bersama keluarganya. Tampak juga para wisatawan dan pedagang yang berdatangan untuk menyaksikan tradisi tahunan ini.” [1]
            Fenomena diatas sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan saat air Sungai Musi mulai dangkal. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke Sungai Musi untuk merayakan tradisi tahunan ini. Tradisi yang hanya bisa dijumpai satu kali dalam satu tahun ini memang berbeda dengan kebanyakan tradisi yang ada. Mandi bongen berarti mandi dengan pasir, kedua kata tersebut berasal dari bahasa Sekayu, yaitu Mani atau Mandi yang berarti Mandi, sedangkan Bongen artinya Pasir. Maka kebudayaan Mandi bongen adalah kebudayaan mandi dengan pasir masyarakat pesisir Sungai Musi Kota Sekayu di waktu Sungai Musi dangkal.
            Indonesia sebagai negara yang multikultural memiliki banyak sekali kebudayaan yang tidak bisa dihitung dengan jari. Sumatera Selatan khususnya memiliki lebih dari 100 kebudayaan di setiap daerahnya. Musi Banyuasin sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Selatan memiliki berbagai macam kebudayaan yang sangat unik untuk dikaji. Budaya Mandi bongen salah satunya, tradisi ini banyak menimbulkan opini-opini berkaitan dengan tradisi mitos, alam, serta sejarahnya yang sangat kompleks sekali. Mandi bongen dikalangan masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin tidak hanya sekedar menjadi tradisi saja tetapi banyak sekali nilai-nilai budaya yang bisa diaplikasikan kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
            Berangkat dari hal tersebut, apakah yang membuat tradisi ini berbeda dengan tradisi lainnya yang ada di dunia? Seberapa besar pengaruh tradisi mandi bongen dalam menciptakan rasa persatuan dan kesatuan diantara masyrakat?
         Saat musim kemarau tiba adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin. Keadaan sungai musi yang dangkal bahkan dipertengahan sungaipun dapat dijajaki oleh kaki, keadaan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mandi dan rekreasi di Sungai Musi. Keadaan tersebut tidak disia-siakan masyarakat untuk berekreasi setiap tahun dengan mandi di sungai musi yang penuh dengan pasir atau bongen, banyak kalangan yang melakukan mandi bongen mulai dari anak-anak, orang tua, remaja, bahkan sesekali ada wisatawan yang berkesempatan untuk ikut merasakan mandi bongen ini. Kebudayaan mandi bongen ini juga tidak hanya dilakukan masyarakat golongan tertentu saja, akan tetapi semua lapisan atau golongan masyarakat berpartisipasi untuk ikut memeriahkan tradisi mandi bongen tersebut.
            Anak-anak bermain pasir dipinggiran sungai, para remaja bermain sepak bola dan ada juga yang bermain bola voli, para orang tua juga terlihat sangat senang \ menyebrangi sungai musi sampai ke seberang, karena memang kondisi Sungai Musi yang sangat dangkal pada saat musim kemarau ini membuat masyarakat bisa menjangkau sungai sampai ke seberang. Selain itu, pada saat bongen luas, banyak masyarakat yang mandi di atas pasir karena airnya terasa lebih segar. Bahkan, bongen ini akan dipenuhi masyarakat berbagai usia dari pagi hingga sore hari.[2]
            Tidak hanya aktivitas mandi diatas pasirnya saja yang membuat tradisi ini berbeda dengan tradisi lainnya. Mitos masyarakat juga berkembang seiring dengan berjalannya tradisi ini setiap tahunnya. Sehingga sering kali banyak persepsi mengenai mandi bongen ini, ada yang mengatakan bahwa jika orang jauh atau bukan orang daerah tersebut maka harus hati-hati karena bisa saja orang asing tersebut tenggelam, atau bahkan digigit buaya. Selain itu juga masyarakat masih mempercayai jika ada korban yang tenggelam ke dasar sungai disebabkan oleh adanya inung ruguk, atau sejenis makhluk halus yang diyakini masyarakat penghuni sungai musi. Fenome masyarakat yang tertarik kedalam permukaan pasir sungai juga diyakini oleh masyarakat sebagai korban dari antu ayo (Hantu Sungai Musi).[3]
          Adanya hal tersebut menyebabkan masyarakat waspada dalam berekreasi dan berusaha menghormati penunggu Sungai Musi. Sampai sekarangpun masyrakat masih melakukan tradisi mandi bongen ini sebagai tradisi tahunan masyarakat kabupaten Musi Banyuasin walaupun mereka tetap meyakini mitos-mitos tersebut.
            Uniknya kegiatan yang ada dalam tradisi ini dan juga kentalnya kepercayaan masyarakat terhadap mitos hantu penuggu Sungai Musi yang ada disetiap tradisi ini dilakukan tidak membuat tradisi ini mati begitu saja. Kentalnya nilai persaudaraan diantara masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin membuat tradisi ini semakin hidup sepanjang tahunnya. Menurut kepercayaan masyarakat Sekayu tradisi ini akan terasa lebih meriah jika dilakukan bersama-sama keluarga terdekat dan juga masyarakat sekitar lainnya. Tidak ada perasaan kesal yang menyelimuti wajah masyarakat selama tradisi ini berlangsung, hanya ada keceriaan dan kentalnya nuansa persahabatan diantara masyarakat Sekayu. Selain itu masyarakat juga dituntut untuk lebih sportif saat bermain sepak bola dan bola voli yang merupakan bagian dari acara tradisi tahunan mandi bongen ini.
            Setiap kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini memang terkesan biasa saja namun nilai persatuan dan kesatuan diantara para masyarakat inilah yang tidak bisa dibeli dengan apapun, tradisi mandi bongen ini merupakan salah satu cerminan budaya masyarakat Musi Banyuasian yang berusaha untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya persatuan diantara masyarakat maka setiap lapisan masyarakat akan berusaha untuk menjaga tali persabahatan yang sudah terjalin selama ini. Budaya mandi bongen ini hendaknya menjadi cerminan bagi dunia internasional dalam menanggapi berbagai konflik saudara yang ada sekarang. Masyarakat Musi Banyuasin melalui tradisi mandi bongen ini  berusaha meunjukkan kepada kita, bagaimana sebuah persahabatan, persatuan dan kesatuan itu tetap ada walaupun dari kalangan yang berbeda. Bagaimana kita sebagai warga dunia? Apakah sudah mampu menciptakan persatuan dan kesatuan dalam menghadapi konflik saudara yang ada selama ini?





[1] Peri Andrian, 2012, Studi kasus kebudayaan mandi bongen (Pasir) masyarakat pesisir Sungai Musi Kabupaten Musi Banyuasin sebagai cerminan budaya masyarakat, Sekayu, Sumatera Selatan.
[2]Syiera Syailendra, 2012, Kemarau Warga Mandi “Bongen” di Sungai Musi, http://daerah.sindonews.com/read/2012/08/26/30/667501/ kemarau-warga-mandi-bongen-di-sungai-musi, diakses 14 Juni 2013.
[3]  Peri Andrian, 2012, Studi kasus kebudayaan mandi bongen (Pasir) masyarakat pesisir Sungai Musi Kabupaten Musi Banyuasin sebagai cerminan budaya masyarakat, Sekayu, Sumatera Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar