TRADISI TAHUNAN MANDI
BONGEN
(KAJIAN KRITIS TERHADAP ANCAMAN PERSATUAN DAN
KESATUAN DI DUNIA)
Compiled By: Oktovia Rezki Nurhanafiah
Compiled By: Oktovia Rezki Nurhanafiah
“Hamparan pasir yang biasa disebut warga Sekayu dengan “bongen” ini dimanfaatkan warga sekitar untuk mandi. Warga Sekayu terutama muda-mudi justru memanfaatkannya untuk rekreasi dan bermain air bersama keluarganya. Tampak juga para wisatawan dan pedagang yang berdatangan untuk menyaksikan tradisi tahunan ini.” [1]
Fenomena
diatas sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin,
Sumatera Selatan saat air Sungai Musi mulai dangkal. Masyarakat
berbondong-bondong pergi ke Sungai Musi untuk merayakan tradisi tahunan ini.
Tradisi yang hanya bisa dijumpai satu kali dalam satu tahun ini memang berbeda
dengan kebanyakan tradisi yang ada. Mandi bongen berarti mandi dengan pasir, kedua kata tersebut berasal dari
bahasa Sekayu, yaitu Mani atau Mandi yang berarti Mandi, sedangkan Bongen artinya Pasir. Maka kebudayaan Mandi bongen adalah kebudayaan mandi
dengan pasir masyarakat pesisir Sungai Musi Kota Sekayu di waktu Sungai Musi
dangkal.
Indonesia
sebagai negara yang multikultural memiliki banyak sekali kebudayaan yang tidak
bisa dihitung dengan jari. Sumatera Selatan khususnya memiliki lebih dari 100
kebudayaan di setiap daerahnya. Musi Banyuasin sebagai salah satu kabupaten di
Sumatera Selatan memiliki berbagai macam kebudayaan yang sangat unik untuk
dikaji. Budaya Mandi bongen salah satunya, tradisi ini banyak menimbulkan opini-opini
berkaitan dengan tradisi mitos, alam, serta sejarahnya yang sangat kompleks
sekali. Mandi bongen dikalangan
masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin tidak hanya sekedar menjadi tradisi saja
tetapi banyak sekali nilai-nilai budaya yang bisa diaplikasikan kedalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Berangkat dari hal tersebut, apakah
yang membuat tradisi ini berbeda dengan tradisi lainnya yang ada di dunia? Seberapa
besar pengaruh tradisi mandi bongen
dalam menciptakan rasa persatuan dan kesatuan diantara masyrakat?
Saat
musim kemarau tiba adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat
Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin. Keadaan sungai musi yang
dangkal bahkan dipertengahan sungaipun dapat dijajaki oleh kaki, keadaan
tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mandi dan rekreasi di Sungai Musi.
Keadaan tersebut tidak disia-siakan masyarakat untuk berekreasi setiap tahun
dengan mandi di sungai musi yang penuh dengan pasir atau bongen, banyak
kalangan yang melakukan mandi bongen
mulai dari anak-anak, orang tua, remaja, bahkan sesekali ada wisatawan yang
berkesempatan untuk ikut merasakan mandi
bongen ini. Kebudayaan mandi bongen
ini juga tidak hanya dilakukan masyarakat golongan tertentu saja, akan tetapi
semua lapisan atau golongan masyarakat berpartisipasi untuk ikut memeriahkan
tradisi mandi bongen tersebut.
Anak-anak
bermain pasir dipinggiran sungai, para remaja bermain sepak bola dan ada juga
yang bermain bola voli, para orang tua juga terlihat sangat senang \
menyebrangi sungai musi sampai ke seberang, karena memang kondisi Sungai Musi
yang sangat dangkal pada saat musim kemarau ini membuat masyarakat bisa
menjangkau sungai sampai ke seberang. Selain itu, pada saat bongen luas, banyak masyarakat yang
mandi di atas pasir karena airnya terasa lebih segar. Bahkan, bongen ini akan
dipenuhi masyarakat berbagai usia dari pagi hingga sore hari.[2]
Tidak
hanya aktivitas mandi diatas pasirnya saja yang membuat tradisi ini berbeda
dengan tradisi lainnya. Mitos masyarakat juga berkembang seiring dengan
berjalannya tradisi ini setiap tahunnya. Sehingga sering kali banyak persepsi
mengenai mandi bongen ini, ada yang
mengatakan bahwa jika orang jauh atau bukan orang daerah tersebut maka harus
hati-hati karena bisa saja orang asing tersebut tenggelam, atau bahkan digigit
buaya. Selain itu juga masyarakat masih mempercayai jika ada korban yang
tenggelam ke dasar sungai disebabkan oleh adanya inung ruguk, atau sejenis makhluk halus yang diyakini masyarakat
penghuni sungai musi. Fenome masyarakat yang tertarik kedalam permukaan pasir
sungai juga diyakini oleh masyarakat sebagai korban dari antu ayo (Hantu
Sungai Musi).[3]
Adanya
hal tersebut menyebabkan masyarakat waspada dalam berekreasi dan berusaha
menghormati penunggu Sungai Musi. Sampai sekarangpun masyrakat masih melakukan
tradisi mandi bongen ini sebagai
tradisi tahunan masyarakat kabupaten Musi Banyuasin walaupun mereka tetap
meyakini mitos-mitos tersebut.
Uniknya
kegiatan yang ada dalam tradisi ini dan juga kentalnya kepercayaan masyarakat
terhadap mitos hantu penuggu Sungai Musi yang ada disetiap tradisi ini
dilakukan tidak membuat tradisi ini mati begitu saja. Kentalnya nilai
persaudaraan diantara masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin membuat tradisi ini
semakin hidup sepanjang tahunnya. Menurut kepercayaan masyarakat Sekayu tradisi
ini akan terasa lebih meriah jika dilakukan bersama-sama keluarga terdekat dan
juga masyarakat sekitar lainnya. Tidak ada perasaan kesal yang menyelimuti
wajah masyarakat selama tradisi ini berlangsung, hanya ada keceriaan dan
kentalnya nuansa persahabatan diantara masyarakat Sekayu. Selain itu masyarakat
juga dituntut untuk lebih sportif saat bermain sepak bola dan bola voli yang
merupakan bagian dari acara tradisi tahunan mandi
bongen ini.
Setiap
kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini memang terkesan biasa saja namun nilai
persatuan dan kesatuan diantara para masyarakat inilah yang tidak bisa dibeli
dengan apapun, tradisi mandi bongen
ini merupakan salah satu cerminan budaya masyarakat Musi Banyuasian yang
berusaha untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya
persatuan diantara masyarakat maka setiap lapisan masyarakat akan berusaha
untuk menjaga tali persabahatan yang sudah terjalin selama ini. Budaya mandi bongen ini hendaknya menjadi
cerminan bagi dunia internasional dalam menanggapi berbagai konflik saudara
yang ada sekarang. Masyarakat Musi Banyuasin melalui tradisi mandi bongen ini berusaha meunjukkan kepada kita, bagaimana
sebuah persahabatan, persatuan dan kesatuan itu tetap ada walaupun dari
kalangan yang berbeda. Bagaimana kita sebagai warga dunia? Apakah sudah mampu
menciptakan persatuan dan kesatuan dalam menghadapi konflik saudara yang ada
selama ini?
[1] Peri Andrian,
2012, Studi
kasus kebudayaan mandi bongen (Pasir) masyarakat pesisir Sungai Musi Kabupaten
Musi Banyuasin sebagai cerminan budaya masyarakat, Sekayu, Sumatera
Selatan.
[2]Syiera Syailendra, 2012, Kemarau Warga Mandi “Bongen” di Sungai Musi, http://daerah.sindonews.com/read/2012/08/26/30/667501/
kemarau-warga-mandi-bongen-di-sungai-musi,
diakses 14 Juni 2013.
[3]
Peri Andrian, 2012, Studi kasus kebudayaan mandi
bongen (Pasir) masyarakat pesisir Sungai Musi Kabupaten Musi Banyuasin sebagai
cerminan budaya masyarakat, Sekayu, Sumatera Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar