Sabtu, 30 Juni 2012

MENGENALI DAYA SAING PARIWISATA INDONESIA

MENGENALI DAYA SAING PARIWISATA INDONESIA
1.Daya Tarik
 Bila kita tiba-tiba ditanya : apa sesungguhnya kekuatan atau daya tarik pariwisata Indonesia yang membedakannya dengan negara lain, sehingga layak dijual ? Pada umumnya akan menjawab keindahan alamnya. Untuk yang jarang melakukan perjalanan wisata ke mancanegara maka jawaban tersebut mungkin benar karena memang tidak pernah melihat alam lain. Atau budayanya, tapi budaya yang mana Bali kah atau Jawa, Toraja, atau yang lainnya. Kembali pengelolaan peninggalan budaya masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan peninggalan budaya Yunani, Roma, Mesir, kemampuan kita masih tertinggal. Bahkan di kawasan ASEAN saja pengelolaan peninggalan budaya kita masih ketinggalan dibandingkan dengan Thailand atau Kamboja dengan Angkor Wat nya. Kesemuanya ini perlu dikemukakan agar tidak timbul arogansi yang sempit bahwa Indonesia adalah segalanya, terindah di dunia, cepat berpuas diri; sehingga dikiranya setiap warga dunia mendambakan untuk dapat berkunjung ke Indonesia dengan cara menabung atau cara lainnya. Sesungguhnya keindahan alam ataupun peninggalan budaya secara fisik tidak lebih dari seonggokan gunung atau candi ataupun benda/bangunan lainnya, ataupun pantai yang indah yang juga dimiliki oleh berbagai negara yang lokasinya berdekatan dengan lumbung turis internasional. Karena tanpa adanya komunitas disekitar monumen, gunung atau pantai maka obyek wisata tersebut tidak lebih dari benda mati, tidak ada roh kehidupan dan bahkan tidak berarti apa-apa bagi pengunjung. Oleh karena itu haruslah disadari bahwa kekuatan pariwisata Indonesia adalah terletak pada manusianya. Manusia yang hangat, ramah tamah, murah senyum dan gemar menolong tamunya, sehingga membuat “kangen” untuk kembali lagi. Gambaran ini adalah pada umumnya manusia Indonesia memang bercirikan demikian dan kita akui pula bahwa memang ada juga sekelompok kecil bangsa Indonesia yang mempunyai tingkah laku tidak seperti yang digambarkan, dan ini hanyalah ekses dari berbagai perubahan yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia.

Karena sudah menemu kenali bahwa kekuatan pariwisata kita adalah manusia maka berbagai langkah penggarapan harus difokuskan kepada manusia. Sebenarnya ini sudah dirintis pada tahun 2001 dengan memperkenalkan branding Indonesia, Just a smile away , dan juga membuahkan hasil dengan pencapaian wisman pada tahun 2001 yakni sebesar 5, 153 juta dan tahun 2002 sebesar 5 juta (dikala negara lain menderita penurunan kedatangan wisman akibat tragedi WTC – New York). Namun sayangnya branding yang belum begitu dikenal seperti Malaysia Truly Asia ini harus mengalami penggantian tanpa alasan yang jelas. Di CNN kita saksikan branding diganti menjadi Indonesia, the colour of life . Padahal belum sampai setahun yang lalu (Pebruari – April 2003) Presiden Megawati menyampaikan sub thema Indonesia, endless beauty of diversity , dalam tayangan iklan di CNN dan CNBC menyambut konperensi PATA 2003. Bahkan dalam 2004 ini katanya telah diluncurkan new branding : Indonesia, ultimate in diversity (jadi mirip iklan mobil Honda CRV – ultimate driving comfort and worry free driving ). Yang sangat mengherankan adalah hal tersebut dilakukan tanpa penjelasan atau landasan survai yang jelas mengapa memilih kata-kata tersebut. Kesemuanya ini menggambarkan amburadulnya manajemen pariwisata Indonesia, paling tidak di instansi pemerintah pusat yang bertanggung jawab membinanya. Dengan pimpinan yang sama sejak tahun 2001 sampai sekarang tampaknya tidak ada konsistensi dalam kebijakannya sehingga tidak saja membingungkan para pelaku nyata pariwisata Indonesia tetapi juga para pelaku di luar negeri karena terdapat dua tayangan dengan branding yang berbeda, CNN dengan yang kata-kata telah diubah sedangkan CNBC dan BBC masih mengikuti sub branding yang dicanangkan oleh Presiden Megawati (yang mungkin sudah dilupakan oleh menterinya). Oleh karena itu apabila tidak ada dasar yang kuat, sebaiknya dikembalikan ke branding yang lama, paling tidak sampai tiga tahun mendatang supaya tidak membingungkan pasar internasional dan menjadi bahan cemoohan dan guyonan orang yang mengerti marketing ataupun image creation .

2.Prioritas Pasar dan Outlook 2004

Sejak peristiwa 11 September 2001 pemerintah dan pelaku pariwisata sepakat untuk lebih fokus memasarkan Indonesia dengan prioritas ke negara jiran ( short-haul ) dan rejional ( medium haul ). Disamping 70% wisman Indonesia memang berasal dari segmen pasar ini, terdapat pula kecenderungan akan makin sedikit manusia yang berpergian terlalu jauh dari tempat tinggalnya hanya untuk berwisata. Terlalu banyak resiko terutama yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan serta efisiensi karena pariwisata saat ini berhadapan dengan “ time poor – money rich people ” (punya harta tetapi miskin waktu). Oleh karena itulah berbagai upaya dilakukan dengan paket wisata yang menarik agar wisman di sekitar negara kita lebih tertarik berkunjung ke Indonesia dibandingkan ke negara lain. Pandangan ini lebih diyakini lagi setelah terjadinya tragedi Bali, Oktober 2002. Tanpa tragedi pun mengatasi permasalahan pariwisata sudah sangat sulit, apalagi ditambah dengan terjadinya tragedi ini, bahkan diikuti pula dengan tragedi Hotel Marriott (Agustus 2003). Lebih parah lagi setelah terjadinya berbagai tragedi yang sesungguhnya merupakan cobaan ini, kekompakan dan kebersamaan di kalangan pelaku pariwisata yang dirasakan sebelumnya sangat baik, telah terpecah belah karena berbagai ambisi dan manuver politik untuk dapat muncul menjadi pahlawan pariwisata Indonesia (mungkin supaya dikenang sejarah walaupun kesiangan dan tanpa prestasi yang jelas). Oleh karena itu diawal 2003 BP-Budpar, sebagai lembaga operasional saat itu memberikan gambaran bahwa tahun 2003 Indonesia akan mencapai angka terendah dibawah tahun 2002 (5 juta wisman), sebesar 4,5 juta sampai 4,8 juta wisman. Para wartawan menanyakan kok bisa lebih rendah dari 2002 saat dimana terjadi Bom Bali. Analoginya sama dengan penyakit yang datangnya tiba-tiba tetapi penyembuhannya memakan waktu dan bertahap. Disamping itu tahun 2002 dari bulan Januari sampai dengan 11 Oktober kondisi pariwisata Indonesia masih normal karena ketidak normalan hanya dialami dua setengah bulan terakhir saja; sedangkan di tahun 2003 ketidak normalan akan berlangsung satu tahun penuh bahkan akan merembet ke tahun 2004 (saat itu belum tahu kalau akan terjadi bom Mariott). Jadi faktor utamanya adalah jaminan keamanan , meskipun tidak ada satu pun negara di dunia yang menjamin bahwa wisman nya akan aman ketika tinggal di negaranya. Yang mereka perlukan adalah “ signal ” bahwa Indonesia bersungguh-sungguh menjaga keamanan. Sementara itu di tahun 2004 kita akan menyelenggarakan Pemilu masing-masing pada bulan April, Juli dan September. Apabila pemilihan presiden dapat dilakukan hanya satu kali yakni bulan Juli maka pebisnis yakin bahwa kondisi akan normal kembalidan diharapkan akan adanya peningkatan kunjungan ke Indonesia (bila kondisi keamanan mendukung. Namun bila pemilihan Presiden sampai diulang (bulan September) maka tampaknya akan membawa dampak negatif bagi pariwisata Indonesia karena pihak yang kalah kemungkinan akan berbuat keonaran, menginat jiwa sportivitas masih belum membudaya dikalangan politisi kita. Oleh karena itu agar tidak hanya termangu-mangu saja maka sebagai jalan keluarnya di tahun 2004 ini disarankan para pelaku pariwisata Indonesia lebih fokus ke pasar dalam negeri, menggarap wisatawan nusantara (wisnus) dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya sehingga minimal kondisi cash-flow perusahaan akan dapat tertolong. Dan sebaiknya tidak melakukan expansi ataupun investasi baru karena kondisi kestabilan politik kurang mendukung adanya investasi baru dibidang pariwisata. Atas dasar kondisi tersebut maka perkiraan jumlah wisman di tahun 2004 maksimal hanya akan meraih 4,5 juta wisman. Apabila dalam White Paper Menbudpar ditargetkan harus dapat setor atau menghasilkan USD 5 Milyar maka harus bekerja keras berusaha agar masa lama tinggal ( length of stay ) nya lebih panjang dari hanya sekedar 10 hari dengan berbagai peningkatan kualitas dan variasi atraksi yang menarik mereka untuk tinggal lebih lama lagi. Dan daerah yang sangat terpengaruh terutama adalah Bali, sedangkan pintu masuk Cengkareng dan Batam akan sedikit pengaruhnya karena kebanyakan pengunjung yang datang melalui pintu ini adalah untuk melakukan bisnis bukan berwisata dalam arti sesungguhnya, meskipun tetap akan mengalami penurunan pula. Disamping itu sebaiknya kita tidak terperangkap pada “kekinian” sehingga menghilangkan idealisme hanya dengan pragmatisme jangka pendek semata. Jawaban ex-patriate diawal pembahasan bahwa sektor pariwisata lah yang akan menggantikan primadona ekonomi Indonesia nantinya hendaknya kita jadikan pedoman dan mulai melihat kedepan paling tidak tahun 2010, sebagaimana Thailand yang telah mencanangkan target 30 juta wisman pada tahun 2010. yang tentunya didukung oleh persiapan yang matang dan mantap serta leadership yang kuat, bukannya yang lemah diikuti oleh manajemen yang amburadul. Inilah saatnya kembali bersatu karena tanpa persatuan sangat mustahil pariwisata Indonesia dapat berdiri sejajar dengan negara tetangga, Malaysia, Thailand dan Singapura.

Selain itu hendaklah disadari bahwa sektor pariwisata adalah penyedia kesempatan kerja yang sangat dominan yakni 10 % dari lapangan kerja di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja langsung 7,3 juta dan yang tidak langsung 5 juta orang. Sehingga bila terjadi permasalahan yang menghambat kemajuan pariwisata pasti akan membawa dampak yang negatif terhadap ketersediaan lapangan kerja. Oleh karena itu berbagai strategi pun harus diarahkan ke sasaran penciptaan lapangan kerja atau paling tidak memelihara jumlah tenaga kerja yang ada sekarang.

3. Restrukturisasi Industri

Dari sisi industri harus pula dilakukan restrukturisasi industri mirip yang dilakukan oleh industri perbankan yang mempersyaratkan minimal modal setor, mengingat kondisi struktur permodalan industri pariwisata Indonesia sangat lemah, bila kita ambil contoh kelompok biro perjalanan wisata (BPW) yang seharusnya dijadikan prioritas pembenahan. Karena ujung tombak kegiatan pariwisata sesungguhnya ada pada biro perjalanan wisata (BPW) yang mempunyai fungsi mengemas paket-paket wisata untuk ditawarkan kepada konsumen baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga setiap BPW benar-benar mempunyai kemampuan sebagai DMC ( destination management corporation ) tidak hanya sekedar berfungsi sebagai agen penjualan tiket seperti yang terjadi saat ini. Dengan adanya DMC maka setiap perjalanan akan menjadi lebih efisien, berkualitas dan dapat dibuatkan standar harga yang ditaati oleh pihak-pihak terkait dan persaingan hanya boleh dilakukan di segi pelayanan saja. Hal ini yang tidak pernah terpikirkan oleh pemerintah Indonesia sehingga walaupun secara formal mereka bernaung dalam satu asosiasi tapi perselisihan bahkan upaya saling mematikan sering terjadi. Kelemahan BPW lainnya adalah lemahnya permodalan sebagian besar perusahaan tersebut dan tidak memiliki akses kepada sumber pendanaan (bank). Sehingga dalam negosiasi dengan mitra kerja asing, BPW Indonesia akan selalu berada di pihak yang lemah dan tidak dapat menentukan, tetapi selalu ditentukan. Kondisi ini sebenarnya dapat dimaklumi karena lebih dari 90 % BPW tergolong UKM dengan permodalan yang lemah. Mereka umumnya berasal dari para pemandu wisata yang ingin mandiri dengan mendirikan BPW lepas dari induk asalnya. Sehingga otomatis kemampuan manajerial terbatas dan visi bisnis pun akan terbatas pula. Untuk menyiapkan Indonesia dimasa depan maka harus ada keberanian untuk melakukan restrukturisasi BPW dengan menetapkan permodalan minimal ataupun merger sehingga BPW dapat lebih kuat posisi tawarnya ( bargaining position). Dan pada lima tahun mendatang diharapkan Indonesia sudah memiliki BPW yang kuat, dan profesional sehingga memiliki kemampuan penetrasi ke pasar mancanegara. Demikian pula dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) pemandu wisata pun harus dapat ditingkatkan dengan melakukan pengketatan pemberian linsensi sebagai pemandu wisata yang selalu di perbaharui pada periode tertentu untuk meningkatkan standar kualitas kemampuannya. Dalam hal ini Indonesia dapat mencontoh dan belajar dari Malaysia dan Thailand dalam menyiapkan tenaga terampil dibidang ini. Selain itu penguasaan di bidang teknologi informasi pun harus lebih ditingkatkan mengingat bahwa kita berhadapan dengan computer literate generation , sehingga if you are not online- you are not on sale .

LeadershipPenggabungan BP-Budpar ke dalam institusi Kementrian Negara merupakan suatu kemunduran yang sangat dirasakan oleh dunia pariwisata Indonesia, dan mitra kerja asing. Angka kunjungan wisman 5,153 seperti yang pernah dicapai dalam tahun 2001 tampaknya hanya akan menjadi impian belaka sampai masa bakti Kabinet Gotong Royong ini berakhir pada tahun ini Dua tahun dihabiskan hanya untuk melakukan “housekeeping” atau bongkar pasang intern kelembagaan tanpa adanya suatu manfaat dan arah yang jelas selain perasaan dendam kesumat untuk menghapuskan bekas-bekas lama. Lembaga yang semula didambakan akan menjadi semacam Singapore Tourism Board, Hongkong Tourism Board, Tourism Authority of Thailand ataupun Australia Tourism Commisssion, ternyata tidak dikehendaki kelahirannya karena memang dikalangan birokrat dan juga sebagian industri terdapat suatu penyakit yang alergi terhadap diterapkannya profesionalitas di sektor pariwisata. Pandangan sempit ini hanya untuk kepentingan diri semata bukan untuk kepentingan bangsa. Kemungkinan mereka beranggapan apabila sampai lembaga profesional tersebut terbentuk maka akan sirnalah kesempatan bisnis yang selama ini diperoleh dengan cara yang tidak pantas dan untuk birokrat akan hilanglah kesempatan untuk menduduki jabatan strategis yang pasti nantinya akan diiisi oleh kalangan profesional. Upaya pembersihan tampak sekali dengan adanya penggantian materi iklan di CNN yang kualitasnya kurang memadai untuk mendukung upaya pemulihan citra Indonesia, sebagaimana telah diuraikan di bagian terdahulu. Haruslah diakui bahwa untuk menyiapkan pariwisata sebagai sektor unggulan sangat diperlukan figur pimpinan yang memiliki visi dan berwibawa. Figur Soesilo Sudarman salah satu contoh yang pernah muncul dalam pemerintahan dan berhasil merakyatkan pariwisata dengan konsep Sapta Pesona nya. Setelah itu kita kehilangan figur-figur semacam beliau. Figur yang mempunyai keberanian untuk mengatakan tidak kepada rekan menteri lainnya apabila ada yang mengusik kelancaran jalannya pariwisata seperti masalah fasilitasi pemberian visa. Figur yang mampu mengkoordinir anggota kabinet lainnya pada saat masalah pariwisata dibicarakan, tidak hanya sekedar mengirimkan para eselon II bahkan seringkali hanya eselon III nya untuk hadir dalam suatu rapat yang bersifat strategis.. Dan figur yang dapat menjadi teladan di lingkungannya baik di intern lembaga yang dipimpin maupun di luar kelembagaan, karena tidak berpihak kepada sekelompok individu, satunya kata dan perbuatan, dan jujur serta adil dengan tidak mempraktekan nepotisme sehingga figur tersebut selalu dihormati jajaran dan mitra kerjanya. Dengan figur semacam ini, maka masa depan pariwisata Indonesia sebagai sektor unggulan tampaknya akan ada harapan. Semoga kita mendapatkan figur tersebut dalam pemerintahan yang akan datang.

Jakarta , 13 Januari 2004
Dikutip dari : http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p._santosa/artikel_setyanto_p._santosa/mengenali_daya__saing_pariwisata_indonesia.html, 1 Juni 2012

Kamis, 28 Juni 2012

Why Smoking Should Not Be Banned

Why Smoking Should Not Be Banned

Light um' if you got um'...

 
Smoking cigarettes%u2026This is something that I personally find revolting. An activity I will never participate in, and one that I have criticized others for. So, when asked whether I think there ought to be a ban on public smoking it may surprise you to here me say "absolutely not." Ladies and Gentlemen I want to talk to you today about three main reasons why a smoking ban or anything of the sort will one not work, two be unconstitutional, and three help pave the way for any sort of ban that the majority see fit.
I'll start with the first reason. A smoking ban is not practical and if history is the judge will not work. Lets look first at prohibition. In the 1920s the imperial federal government banned all consumption of alcohol. Citing it as not only destructive to the individual but a menace to the public health. By the end of the decade the ban was repealed. Why you may ask. Well because the ban had proven totally ineffective and had given rise to the infamous gangsters of the twenties whose main business was the distribution of alcohol to the masses. That's right. The law created to encourage a safer more secure society had done the opposite. It instead bread a thriving underground economy headed by criminals. Another great example of these sort of bans not working was in the 1980's to the present when the "War on Drugs" was started. Since then drugs are still out of control and all the legislation simply pushed hard drugs into the realm of criminal activity instead of the safety of free enterprise.
The second reason we must not enact a ban on smoking is because it is simply unconstitutional. Although advocates like to point out that smoking is a burden to the public health they are wrong. The effect on the general nonsmoking public is as indirect as the influence that chewing tobacco or alcohol have on the general public. This argument is an argument used for centuries to get something banned.
To prove this point one must only gaze upon war torn Europe in the 1930's and 40's. In many newspapers the German machine published propaganda calling the Jews a detriment to public health and safety. We realize this is the extreme end of the spectrum, but one must realize it is quite comparable. Another example described earlier is the 1920's alcohol ban. The same argument was made that alcohol denigrates a society. These arguments are based on the concept of a whole and centralized society and completely disregard any sort of freedom or personal choice that a free individual has to chose to live as he/she sees fit. There are some (pause) who would rather see the Constitution of our great United States be disregarded in any manner they see fit. We believe however, in the natural rights of man and the Constitution of the United States of America.
That brings me to my next reason that smoking should not be banned. Say that we go ahead and ban smoking based on the masses simply not liking it. I will then pose the question to you. "Where does it end?" Today we ban smoking. What's tomorrow? Fast food maybe? Fast food is just as responsible for health problems as smoking. In fact obesity is second only to smoking as the leading preventable cause of death in the U.S. Can you imagine banning fast food because people make a choice to indulge and become obese? If smoking is not an individual right because it is harmful to the public health then we should also ban fatty foods for being just as harmful to the public health. One could sight car accidents. For instance, in the year 2003 there were 42,884 car fatalities. If smoking is to be banned why not vehicles as well. After all that would save over 40,000 lives per year, but we all realize this to be impractical.

In conclusion, I have evaluated this preposterous proposition and found it wanting. Here are three very able bodied reasons why a ban would simply be ineffective and unconstitutional. The first, is that the ban would simply not work. This is supported by the effects of prohibition in the 1920's on society. The second reason is that it infringes upon constitutional rights of citizens of the United States of America. The third and final reason, is that a ban on smoking would pave the way for any other preposterous ban any gibrone in this country wants to enact. So smoke um' if you got em'.

Rabu, 27 Juni 2012

Tarian Dandelion

 

Tarian Dandelion

oleh Oktovia Rezki Peverell pada 25 Februari 2012 pukul 16:13 ·
Tarian Dandelion
Karya : Novi Handayani

            Ini hidupku tapi bukan ceritaku. Bahkan hidupku nyaris tak ada artinya jika dibandingkan dengan cerita yang akan aku tuliskan. Ini tentangnya yang tak pernah bisa aku gapai. Tentangnya yang hanya demi dirinya aku rela memberikan nafasku, tapi aku tahu semuanya tak semudah yang aku mau. Karena aku dan dia berbeda.
            Namanya Hinata.
            Aku bertemu dengannya dua tahun yang lalu, saat aku dan keluargaku pindah ke Bandung, waktu itu aku kelas dua SMA. Aku tak tahu pasti, tapi kurasa inilah prolog ceritaku karena bermula dari sinilah alur ceritaku mengalir begitu saja tanpa pernah aku duga. Layaknya sebuah cerita, dia memang benar-benar sosok perempuan yang digambarkan dalam semua buku cerita tentang keindahan. Rambutnya hitam sepinggang terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Matanya sipit dan setiap dia tersenyum ada lesung pipi yang tersembul di kedua pipinya. Manis sekali. Tutur katanya lembut, seperti wanita Jawa meskipun yang kutahu dia sama sekali tak memiliki keturunan darah Jawa.
            “Aku menunggumu di hamparan Dandelion,” Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku.
            Aku tersenyum menanggapi permintaannya. Dan Minggu itu, aku pergi ke hamparan Dandelion yang dia maksud. Saat tiba di sana, aku melihatnya sedang duduk menungguku. Dia mengenakan dress warna putih bersih dengan rambut terurai. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan segala pesonanya. Jadi dengan hati berdebar aku mendatanginya dan duduk di sampingnya.
            “Kau terlambat lima belas menit,” Katanya dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan Dandelion yang memukau.
            “Maaf,” aku menyesal telah membuatnya menunggu.
            “Kumaafkan,” katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku menatap matanya yang bening dan ritme detakan jantungku bertambah cepat. Aku bisa melihat ada rona merah di sekitar pipinya dan dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan.
            Hening! Aku tak tahu harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang beku ini. Mulutku serasa terkunci dan aku mengerang tertahan. Hanya dia satu-satunya perempuan yang membuatku tak berkutik seperti ini. Aku membencinya karena aku tak bisa menolak pesonanya sehingga terjerat dalam ketidaknormalan ini. Tiba-tiba angin berhembus kencang, meniup rambutnya dan beberapa Dandelion. Aku bisa melihat senyuman yang terukir dari bibirnya, dan itu membuatku merasa seribu kali lebih baik. Biarlah keheningan ini menelanku asal aku bisa merasakan romantisme tanpa bahasa yang menjabarkan semuanya. Hingga matahari kembali ke peraduannya.
            “Sudah sore, aku mau pulang. Terimakasih karena telah menemaniku di sini,” Katanya sambil memetik beberapa tangkai Dandelion sebelum tersenyum padaku.
            Aku membalas senyumnya, “Dengan senang hati.”
            Lalu kami pulang, rumahnya tepat berada di depan rumahku. Saat dalam perjalanan, dia masih tak juga mengatakan apapun. Dan kali ini diamnya mengusikku. “Kau kenapa?” tanyaku.
            Dia menatapku bingung. “Memangnya aku kenapa?”
            “Dari tadi kau diam terus.”
            Dia tak langsung menjawab dan saat kami telah tiba di depan rumahnya dia berkata, “Aku merasa nyaman dengan diamku. Itu saja!” dia langsung keluar dari dalam mobil, “Bagaimana pun juga, aku senang kau menemaniku. Selamat malam.”
            Aku menatap punggungnya yang semakin lama semakin mengecil dan menghilang saat dia sudah masuk ke dalam rumah. Aku menarik napas panjang sebelum memarkirkan mobilku dan masuk ke dalam kamar. Aku melihat lampu kamarnya menyala, dan itu membuatku terdiam. Aku hanya berdiri terpaku dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
            Tapi aku semakin takut, saat keesokan harinya dia menelponku dan berkata akan menungguku di Taman Kanak-Kanak saat aku sedang berlatih basket. Aku tak tahu jenis ketakutan apa yang tengah melandaku. Irasional mungkin, karena jelas-jelas tak ada yang perlu ditakutkan. Jadi aku putuskan akan menemuinya di Taman Kanak-Kanak.
            “Deri, maaf aku tak bisa ikut latihan. Aku harus pergi.”  Kataku meminta izin.
            “Perempuan mana yang membuatmu meninggalkan latihan kita?” Aku melihatnya tersenyum sinis dan aku ingin sekali menghajarnya.
            “Bukan urusanmu!” Aku mendecih dan meninggalkan lapangan basket sebelum aku benar-benar tergoda untuk memukulnya.
            “Tentu saja itu urusanku. Lomba sudah di depan mata dan kau meninggalkan latihan hanya untuk berkencan.”
            Aku berhenti sejenak untuk memikirkan kata-katanya. Sebersit perasaan bersalah muncul dalam hatiku, tapi itu tak mengubah keputusanku. Hinata sudah menungguku dan akan tetap menemuinya.
            Saat aku tiba di Taman Kanak-kanak, aku melihatnya duduk di atas ayunan. Dia mengenakan dress warna putih sepanjang lutut dengan rambut di kepang satu. Aku mengerutkan kening, berapa banyakkah bajunya yang bewarna putih?
            “Hey, apa aku terlambat?” Tanyaku sembari duduk di sampingnya.
            Dia memandangku lembut, “Kau sedang latihan?”
            Aku bertanya-tanya dari mana dia tahu. Kemudian aku teringat aku masih mengenakan baju basket. Seharusnya aku berganti pakaian dulu. “Sudah selesai,” Dustaku.
            “Aku minta maaf, kau pasti haus.” Dia mengeluarkan sebotol air minum dari tasnya dan memberikannya padaku. Kuterima dengan senang hati dan langsung meneguknya sampai habis.
            “Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK,” Katanya sambil tersenyum lembut dan mengamati segerombolan anak-anak yang tengah bermain bola.
            “Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
            “Mereka benar-benar makhluk yang menggemaskan. Pasti menyenangkan rasanya bila tiap hari dikelilingi dengan wajah tanpa dosa yang tak pernah memikirkan stratifikasi dalam kehidupan”
             Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi tak urung jua aku mengangguk. Jadi sesorean itu kami menghabiskan waktu dalam diam untuk mengamati anak-anak itu hingga tak ada lagi anak yang bermain. Dan setelah melihat mega-mega  merah di langit, dia mengajakku pulang.
            “Terimakasih untuk hari ini,” Katanya sebelum masuk ke dalam rumah. Aku bisa melihat lesung pipinya yang selalu aku nantikan saat dia tersenyum.
            “Sama-sama.” Dan dia berbalik meninggalkanku di depan rumahnya.
            Aku menutup mataku sambil berusaha mengendurkan sarafku yang tegang. Aku merasa lelah sekali meskipun aku tak tahu apa penyebabnya. Kali ini aku tak tahu, akan menantikan apa esok pagi saat aku terbangun.
¥¥¥
            “Aku menunggumu di pusat perbelanjaan.” Suara Hinata masih berdengung di telingaku. Aku semakin tak mengerti apa maunya. Beribu pertanyaan mampir ke dalam benakku, apakah dia akan seperti hari-hari sebelumnya. Mengajakku pergi dan mendiamkanku. Aku meremas rambutku frustasi.
            “Aku harus pergi,” Kataku sambil mengambil baju ganti dan memakainya.
            “Pergi saja!” sahut Deri pedas.
            Baiklah, aku tahu kalau aku sekarang sudah benar-benar keterlaluan karena tidak ikut latihan. Tapi membayangkan Hinata di sana menungguku sendiri, itu adalah mimpi terburuk yang pernah aku alami. “Maaf, tapi aku janji kita akan menang.”
            Setelah selesai memakai baju, aku langsung ke parkiran dan mengambil mobilku untuk menemui Hinata. Saat aku tiba di sana, seperti biasa dia sudah menungguku. Tapi kali ini, dia tidak mengenakan dress warna putih melainkan celana panjang warna biru dan baju warna Ungu. Rambutnya diikat menjadi satu di sebelah kanan. Sangat kekanak-kanakan. Tapi menurutku dia imut sekali.
            “Maaf merepotkanmu,” Hinata langsung tersenyum manis saat aku berjalan ke arahnya.
            Aku menggeleng dan mulai mengancamnya, “Tapi aku akan benar-benar meninggalkanmu jika kau mengajakku hanya untuk menjadi patungmu.”       
            Dia merengut, “Tak akan. Kau tenang saja.”
            “Baiklah, sekarang kita mau ke mana?” Tanyaku.
            Mata Hinata berbinar senang saat mendengar pertanyaanku. Kemudian dia menarik tanganku keluar dari pusat perbelanjaan. “Aku tahu, kau akan mengabulkan permintaanku. Aku ingin jalan-jalan.” Aku berhenti jalan, dan Hinata juga menghentikan jalannya. “Ada apa?”
            “Kurasa sebaiknya aku mengambil mobil du…”
            “Aku mau jalan, Andri! Bukan naik mobil.” Katanya sambil melepaskan tanganku. Kemudian dia berjalan duluan di depanku dan aku langsung menyusulnya.
            “Kau marah?”
            “Untuk apa? Aku mau ke jembatan sana. Kau mau ikut tidak?” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan  ikut barjalan di sampingnya. Aku bisa mendengar Hinata tengah bersenandung kecil. Tampaknya dia sedang bahagia.  Mau tak mau aku ikut tersenyum senang. “Sudah lama sekali aku tak menghirup udara luar,” Katanya.
            “Aku senang sekali mendengarnya. Kalau aku jadi kau aku tak akan pernah home schooling. Percaya padaku, kau akan menghirup udara luar tiap hari.”
            Aku melihatnya menghentikan langkahnya, dan aku juga menghentikan langkahku. Dia menatapku lama sekali sebelum berjalan menuju ke trotoar dan duduk di situ. “Aku tak punya pilihan. Dan tak akan pernah punya pilihan. Karena apa yang aku jalani itu pilihan terbaik.”
            “Aku tak mengerti.” Kataku sambil menatap matanya.
            Hinata tersenyum ke arahku, dan menunjuk beberapa anak jalanan. “Kau tahu, mereka tak pernah meminta untuk menjadi seperti mereka. Dan yang mereka lakukan adalah jalan terbaik meskipun mereka tak suka. Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.”
            Aku mencoba menyerap segala kata-katanya dan mengumpulkan ke dalam otakku sehingga aku bisa menyimpulkan sesuatu. Tapi tak ada kesimpulan apapun yang aku dapatkan, hanya sebuah pernyataan bahwa aku tak pernah mengenal Hinata. Masih begitu banyak teka-teki yang ada di setiap sudut ceritanya.
            Jadi sore itu, kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang hingga aku melihat sadar hari sudah petang ,“Ayo pulang,” Ajakku sambil menggandeng tangannya. Dia diam saja dan saat kami sudah berada di parkiran mobil, aku benar-benar terkejut saat melihat wajahnya sepucat Vampir. “Hinata kau tak apa-apa? Mukamu pucat.”
            “Aku hanya kedinginan saja.” Dia memeluk badannya sendiri dan aku langsung melepaskan jaket yang aku pakai dan menyuruhnya untuk memakai jaketku. “Teri…ma… kas…ih.” Kata Hinata terbata-bata. Dia menangis dan itu membuatku mematung. Ada apa dengannya? Melihat tangisannya, dadaku terasa sesak dan aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. Sedikit berharap dia bisa lebih tenang.
            “Hinata…”
            Sebuah suara mengagetkanku dan Hinata langsung melepas diri pelukanku. Aku menatap laki-laki yang bisa dibilang mengganggu kami dengan pandangan tidak suka, di sampingnya berdiri seorang perempuan manis dengan rambut ikal.
            “Rehan? Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Hinata sambil menyapukan jemarinya di matanya, untuk menghapus jejak-jejak air mata.
            “Tentu saja kencan. Kenalkan ini pacarku, namanya Abel. Siapa yang sedang bersamamu? Pacarmu?” Tanyanya ingin tahu.
            “Iya, dia pacarku.” Jawab Hinata pelan. Aku menatapnya tak percaya. “Namanya Andri. Kurasa kami harus segera pulang.”
            “Oh, kalau begitu kami pergi dulu.” Kata laki-laki yang bernama Rehan itu sambil meninggalkan kami.
            Setelah mereka benar-benar tak terlihat, aku memandang Hinata tajam, “Kenapa kau bilang padanya kalau aku pacarmu?”
            Aku bisa melihat ekspresi terluka dari wajah Hinata, dan itu membuatku menyesal telah menanyakan hal itu padanya. “Kau keberatan?”
            “Tidak!” tentu saja tidak. Aku sangat mencintaimu Hinata. Benar-benar mencintaimu. “Tapi beri aku satu alasan agar aku bisa mengerti apa yang terjadi. kau benar-benar aneh akhir ini. Dua hari yang lalu kau mengajakku pergi dan mendiamkanku. Hari ini tiba-tiba saja kau menangis dan mengaku kalau aku pacarmu. Ini membingungkan!”
            “Aku mencintainya.” Kata Hinata datar.
            “Siapa?” Sejujurnya aku tak mau tahu, saat dia mengatakan ‘nya’.
            “Rehan. Aku mencintainya. Dan aku menangis karena aku, tak sengaja melihatnya sedang bersama Abel. Aku sama sekali tak menyangka jika mereka akan menghampiriku, jadi maaf aku sama sekali tak berpikir saat mengatakan bahwa kau adalah pacarku.”
            Aku meremas rambutku. Benar-benar menyakitkan seolah rongga dadaku kosong tanpa isi. Hanya ada kehampaan. Dan semenit kemudian gelombang kemarahan melandaku dan menenggelamkanku ke dasarnya. Aku cemburu dan aku murka.
            “Ayo pulang!” Aku menarik tangannya dengan kasar.
            “Sakit Andri.” Hinata berusaha melepaskan tangannya dari peganganku. dan aku mendorongnya agar masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat air matanya mengalir. Dan aku sama sekali tak merasa kasihan pada orang yang bahkan tak pernah mempedulikan orang yang mencintainya.
¥¥¥
            Aku menatap lapangan basket dengan pandangan muram. Akhir-akhir ini keadaan semakin memburuk entah dalam artian apa. Aku lelah sekali, terlalu lelah untuk menghirup napas sekalipun. Aku lelah, karena aku berlatih sekuat tenaga agar aku tak mengecewakan mereka, tak seperti yang pernah aku lakukan membuat mereka kacau balau hanya demi sesuatu yang sia-sia. Aku lelah, menghindar dari Hinata. Aku tak tahu apa maunya, sejak malam yang tak pernah aku ungkit-ungkit itu dia berusaha menghubungiku dan mengucapkan kata maaf berkali-kali padaku.
            Jujur saja, aku bingung siapa yang salah di sini? Mungkin aku yang terlalu egois. Tapi aku benar-benar tidak sanggup melihat Hinata. Dia melukaiku.
            “Andri! Perlombaan sudah mau dimulai.” Kata Deri.
            Aku mengangguk dan berjalan ke lapangan. Saat itulah aku merasakan ada yang hilang. Meskipun aku tak tahu apa. Mungkin aku takut kehilangan kesempatan untuk menang. Baiklah, akan aku buktikan pada mereka bahwa aku bisa.
              Pertandingan tak membutuhkan waktu yang lama, dan seperti yang aku inginkan kami benar-benar menang. Menyenangkan rasanya. Deri mengajak kami satu tim ke kantin untuk makan-makan bersama.
            “Aku tak menyangka kita bisa menang. Mengingat Andri tengah kasmaran,” Agus berceloteh sambil menggigit gorengan.
            “Aku juga.” Timpal Deri, “Tapi Andri kan orang yang bertanggung jawab. Jadi percaya saja padanya.” dan mereka semua tertawa.
            Paradoks tingkat tinggi. Aku berjalan ke ruang ganti sendirian dan mengaktifkan ponselku untuk menghubungi Mama. Malam ini aku ingin menginap di rumah Deri saja. Sepertinya melegakan punya teman untuk bercerita.
            Sebelum aku menelpon Mama, ada satu pesan masuk ke dalam ponselku. Dan ternyata itu dari Mama.
            27/04/2011
            Pengirim : Mama
            Andri, cepat pulang Nak! Hinata dipanggil ke Rahmatulloh tadi jam lima sore.
¥¥¥
            Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
            Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi saat aku melihat orang berlalu lalang di depan rumah Hinata. Aku berharap saat masuk ke dalam rumahnya, Hinata akan menepuk bahuku dan tersenyum lembut. Miris! Hatiku beku dan aku butuh pelepasan. Tanganku membuka dasbor untuk mengambil sebungkus rokok. Tapi bukan sebungkus rokok yang aku gapai, melainkan seikat Dandelion yang telah kering. Hinata?
            Dandelion itu merosot jatuh dari tanganku dan aku lansung berlari masuk ke dalam rumah Hinata. Aku ingin mengajaknya ke hamparan Dandelion lagi. Aku tak peduli jika dia tak mencintaiku, aku akan tetap mencintainya sampai kapanpun.
            Aku terpaku saat tiba di ruang tengah milik keluarga Hinata. Di sana ada Mama, yang tengah memeluk Mama Hinata. Dan tepat di tengah ruangan, Hinata tertidur  pulas.
            “Kenapa dia tak merasa terganggu dengan semua kebisingan ini? Apakah mimpinya terlalu indah sehingga dia tak mau bangun lagi?” Tanyaku pada diriku sendiri dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
¥
Rasanya menyakitkan dan memuakkan! Kanker otak sialan. Aku bahkan tak sanggup melukiskannya dengan kata-kata. Aku juga tak tahu mengapa sekarang aku ingin segala kata-kata mengurai ceritaku, sebelum aku benar-benar pergi. Aku ingin punya satu cerita yang membuktikan bahwa aku pernah hidup. Tapi aku benar-benar pusing untuk memilih cerita mana yang ingin aku tuliskan mengingat hidupku sama sekali tak menarik untuk di baca.
            Nyaris! Semuanya monoton. Yang kutahu hanya tangis. Aku bahkan tak mengenal kata tawa. Aku merasa kata itu, hanya digunakan untuk orang-orang yang memiliki kehidupan bukan untuk orang sepertiku. Orang yang tiap harinya melihat wajah duka seolah-olah mereka menungguku untuk mati. Atau prihatin atas kematian yang akan mendatangiku. Ohh … Entahlah! Aku tak tahu.
            Tapi … Aku tetap ingin bercerita. Ini tentang Andri. Karena sejak kedatangannya semuanya berubah. Dia tampan dan memukaukan. Melihatnya membuatku berpikir aku orang yang sangat beruntung karena sebelum melihat malaikat pencabut nyawa, Tuhan memberikanku kesempatan untuk melihat bagaimana rupa malaikat sesungguhnya.
              Kurasa aku harus memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk diriku sendiri. Aku mencintainya, dan sekarang dia membenciku. Drama yang sempurna bukan? Saat aku mengatakan bahwa dia pacarku, tak ada maksud apa-apa. Aku memang berharap seperti itu. Tapi bukan harapan itu yang kudapat melainkan penolakan. Aku berbohong padanya dan aku berbohong pada diriku sendiri. Andai aku punya kesempatan aku ingin mengatakan yang sejujurnya. Dan waktuku telah habis. Aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari kata mereka, malaikat berbaju putih yang tak bisa menolongku untuk tetap hidup. Aku mengahabiskan tiga hari untuk bersamanya, dan tiga hari untuk mengenangnya. Karena ini akhir dari segala ceritaku yang ingin aku ceritakan.
            Aku meremas kertas yang tadi diberikan oleh Mamanya Hinata. Rasanya sama saja, aku juga merasa hatiku teremas. Sakit sekali! Kemudian aku terduduk dan bersandar di dinding, mau tak mau aku mengakui kalau aku menangis. Ternyata aku memang tak tahu segala tentangnya, bahkan penyakit yang selalu menggerogoti badannya pun aku tak tahu. Aku ingin pergi ke hamparan Dandelion itu lagi, dan berharap di sana ia sudah menungguku.

Sinopsis

                Aku menunggumu di hamparan Dandelion. Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku
Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
Ini semua tentang Hinata.
Karena aku tahu, dia pusat dari segala orbitku.
Tapi sejak tarian Dandelion di hari Minggu yang dia janjikan, itu mengubah segalanya. Andai saja aku bisa membaca segala tanda-tanda dari tarian Dandelion yang juga merupakan tarian ekspresinya. Andai aku tahu bahwa tarian Dandelion yang semakin lama meninggalkanku adalah tujuannya.
Aku bertanya-tanya apakah kata-kataku ambigu? Terlalu banyak  kesalahan dalam setiap interaksi yang ada. Aku merasa banyak lubang di setiap latar yang menghadirkan kita berdua. Meskipun aku baru menyadarinya.
Andai saja aku sedikit peka. Pasti kita masih berada di satu cerita yang sama.
Tapi takdir kita sudah jelas. Cerita itu telah mengalir. Dan Sketsa kehidupan telah terpampang. Tapi aku tak pernah sanggup untuk berjalan dan menggapai epilog yang aku sendiri takut untuk menapakinya. Aku pengecut.

 

Tarian Dandelion

oleh Oktovia Rezki Peverell pada 25 Februari 2012 pukul 16:13 ·
Tarian Dandelion
Karya : Novi Handayani

            Ini hidupku tapi bukan ceritaku. Bahkan hidupku nyaris tak ada artinya jika dibandingkan dengan cerita yang akan aku tuliskan. Ini tentangnya yang tak pernah bisa aku gapai. Tentangnya yang hanya demi dirinya aku rela memberikan nafasku, tapi aku tahu semuanya tak semudah yang aku mau. Karena aku dan dia berbeda.
            Namanya Hinata.
            Aku bertemu dengannya dua tahun yang lalu, saat aku dan keluargaku pindah ke Bandung, waktu itu aku kelas dua SMA. Aku tak tahu pasti, tapi kurasa inilah prolog ceritaku karena bermula dari sinilah alur ceritaku mengalir begitu saja tanpa pernah aku duga. Layaknya sebuah cerita, dia memang benar-benar sosok perempuan yang digambarkan dalam semua buku cerita tentang keindahan. Rambutnya hitam sepinggang terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Matanya sipit dan setiap dia tersenyum ada lesung pipi yang tersembul di kedua pipinya. Manis sekali. Tutur katanya lembut, seperti wanita Jawa meskipun yang kutahu dia sama sekali tak memiliki keturunan darah Jawa.
            “Aku menunggumu di hamparan Dandelion,” Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku.
            Aku tersenyum menanggapi permintaannya. Dan Minggu itu, aku pergi ke hamparan Dandelion yang dia maksud. Saat tiba di sana, aku melihatnya sedang duduk menungguku. Dia mengenakan dress warna putih bersih dengan rambut terurai. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan segala pesonanya. Jadi dengan hati berdebar aku mendatanginya dan duduk di sampingnya.
            “Kau terlambat lima belas menit,” Katanya dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan Dandelion yang memukau.
            “Maaf,” aku menyesal telah membuatnya menunggu.
            “Kumaafkan,” katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku menatap matanya yang bening dan ritme detakan jantungku bertambah cepat. Aku bisa melihat ada rona merah di sekitar pipinya dan dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan.
            Hening! Aku tak tahu harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang beku ini. Mulutku serasa terkunci dan aku mengerang tertahan. Hanya dia satu-satunya perempuan yang membuatku tak berkutik seperti ini. Aku membencinya karena aku tak bisa menolak pesonanya sehingga terjerat dalam ketidaknormalan ini. Tiba-tiba angin berhembus kencang, meniup rambutnya dan beberapa Dandelion. Aku bisa melihat senyuman yang terukir dari bibirnya, dan itu membuatku merasa seribu kali lebih baik. Biarlah keheningan ini menelanku asal aku bisa merasakan romantisme tanpa bahasa yang menjabarkan semuanya. Hingga matahari kembali ke peraduannya.
            “Sudah sore, aku mau pulang. Terimakasih karena telah menemaniku di sini,” Katanya sambil memetik beberapa tangkai Dandelion sebelum tersenyum padaku.
            Aku membalas senyumnya, “Dengan senang hati.”
            Lalu kami pulang, rumahnya tepat berada di depan rumahku. Saat dalam perjalanan, dia masih tak juga mengatakan apapun. Dan kali ini diamnya mengusikku. “Kau kenapa?” tanyaku.
            Dia menatapku bingung. “Memangnya aku kenapa?”
            “Dari tadi kau diam terus.”
            Dia tak langsung menjawab dan saat kami telah tiba di depan rumahnya dia berkata, “Aku merasa nyaman dengan diamku. Itu saja!” dia langsung keluar dari dalam mobil, “Bagaimana pun juga, aku senang kau menemaniku. Selamat malam.”
            Aku menatap punggungnya yang semakin lama semakin mengecil dan menghilang saat dia sudah masuk ke dalam rumah. Aku menarik napas panjang sebelum memarkirkan mobilku dan masuk ke dalam kamar. Aku melihat lampu kamarnya menyala, dan itu membuatku terdiam. Aku hanya berdiri terpaku dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
            Tapi aku semakin takut, saat keesokan harinya dia menelponku dan berkata akan menungguku di Taman Kanak-Kanak saat aku sedang berlatih basket. Aku tak tahu jenis ketakutan apa yang tengah melandaku. Irasional mungkin, karena jelas-jelas tak ada yang perlu ditakutkan. Jadi aku putuskan akan menemuinya di Taman Kanak-Kanak.
            “Deri, maaf aku tak bisa ikut latihan. Aku harus pergi.”  Kataku meminta izin.
            “Perempuan mana yang membuatmu meninggalkan latihan kita?” Aku melihatnya tersenyum sinis dan aku ingin sekali menghajarnya.
            “Bukan urusanmu!” Aku mendecih dan meninggalkan lapangan basket sebelum aku benar-benar tergoda untuk memukulnya.
            “Tentu saja itu urusanku. Lomba sudah di depan mata dan kau meninggalkan latihan hanya untuk berkencan.”
            Aku berhenti sejenak untuk memikirkan kata-katanya. Sebersit perasaan bersalah muncul dalam hatiku, tapi itu tak mengubah keputusanku. Hinata sudah menungguku dan akan tetap menemuinya.
            Saat aku tiba di Taman Kanak-kanak, aku melihatnya duduk di atas ayunan. Dia mengenakan dress warna putih sepanjang lutut dengan rambut di kepang satu. Aku mengerutkan kening, berapa banyakkah bajunya yang bewarna putih?
            “Hey, apa aku terlambat?” Tanyaku sembari duduk di sampingnya.
            Dia memandangku lembut, “Kau sedang latihan?”
            Aku bertanya-tanya dari mana dia tahu. Kemudian aku teringat aku masih mengenakan baju basket. Seharusnya aku berganti pakaian dulu. “Sudah selesai,” Dustaku.
            “Aku minta maaf, kau pasti haus.” Dia mengeluarkan sebotol air minum dari tasnya dan memberikannya padaku. Kuterima dengan senang hati dan langsung meneguknya sampai habis.
            “Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK,” Katanya sambil tersenyum lembut dan mengamati segerombolan anak-anak yang tengah bermain bola.
            “Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
            “Mereka benar-benar makhluk yang menggemaskan. Pasti menyenangkan rasanya bila tiap hari dikelilingi dengan wajah tanpa dosa yang tak pernah memikirkan stratifikasi dalam kehidupan”
             Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi tak urung jua aku mengangguk. Jadi sesorean itu kami menghabiskan waktu dalam diam untuk mengamati anak-anak itu hingga tak ada lagi anak yang bermain. Dan setelah melihat mega-mega  merah di langit, dia mengajakku pulang.
            “Terimakasih untuk hari ini,” Katanya sebelum masuk ke dalam rumah. Aku bisa melihat lesung pipinya yang selalu aku nantikan saat dia tersenyum.
            “Sama-sama.” Dan dia berbalik meninggalkanku di depan rumahnya.
            Aku menutup mataku sambil berusaha mengendurkan sarafku yang tegang. Aku merasa lelah sekali meskipun aku tak tahu apa penyebabnya. Kali ini aku tak tahu, akan menantikan apa esok pagi saat aku terbangun.
¥¥¥
            “Aku menunggumu di pusat perbelanjaan.” Suara Hinata masih berdengung di telingaku. Aku semakin tak mengerti apa maunya. Beribu pertanyaan mampir ke dalam benakku, apakah dia akan seperti hari-hari sebelumnya. Mengajakku pergi dan mendiamkanku. Aku meremas rambutku frustasi.
            “Aku harus pergi,” Kataku sambil mengambil baju ganti dan memakainya.
            “Pergi saja!” sahut Deri pedas.
            Baiklah, aku tahu kalau aku sekarang sudah benar-benar keterlaluan karena tidak ikut latihan. Tapi membayangkan Hinata di sana menungguku sendiri, itu adalah mimpi terburuk yang pernah aku alami. “Maaf, tapi aku janji kita akan menang.”
            Setelah selesai memakai baju, aku langsung ke parkiran dan mengambil mobilku untuk menemui Hinata. Saat aku tiba di sana, seperti biasa dia sudah menungguku. Tapi kali ini, dia tidak mengenakan dress warna putih melainkan celana panjang warna biru dan baju warna Ungu. Rambutnya diikat menjadi satu di sebelah kanan. Sangat kekanak-kanakan. Tapi menurutku dia imut sekali.
            “Maaf merepotkanmu,” Hinata langsung tersenyum manis saat aku berjalan ke arahnya.
            Aku menggeleng dan mulai mengancamnya, “Tapi aku akan benar-benar meninggalkanmu jika kau mengajakku hanya untuk menjadi patungmu.”       
            Dia merengut, “Tak akan. Kau tenang saja.”
            “Baiklah, sekarang kita mau ke mana?” Tanyaku.
            Mata Hinata berbinar senang saat mendengar pertanyaanku. Kemudian dia menarik tanganku keluar dari pusat perbelanjaan. “Aku tahu, kau akan mengabulkan permintaanku. Aku ingin jalan-jalan.” Aku berhenti jalan, dan Hinata juga menghentikan jalannya. “Ada apa?”
            “Kurasa sebaiknya aku mengambil mobil du…”
            “Aku mau jalan, Andri! Bukan naik mobil.” Katanya sambil melepaskan tanganku. Kemudian dia berjalan duluan di depanku dan aku langsung menyusulnya.
            “Kau marah?”
            “Untuk apa? Aku mau ke jembatan sana. Kau mau ikut tidak?” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan  ikut barjalan di sampingnya. Aku bisa mendengar Hinata tengah bersenandung kecil. Tampaknya dia sedang bahagia.  Mau tak mau aku ikut tersenyum senang. “Sudah lama sekali aku tak menghirup udara luar,” Katanya.
            “Aku senang sekali mendengarnya. Kalau aku jadi kau aku tak akan pernah home schooling. Percaya padaku, kau akan menghirup udara luar tiap hari.”
            Aku melihatnya menghentikan langkahnya, dan aku juga menghentikan langkahku. Dia menatapku lama sekali sebelum berjalan menuju ke trotoar dan duduk di situ. “Aku tak punya pilihan. Dan tak akan pernah punya pilihan. Karena apa yang aku jalani itu pilihan terbaik.”
            “Aku tak mengerti.” Kataku sambil menatap matanya.
            Hinata tersenyum ke arahku, dan menunjuk beberapa anak jalanan. “Kau tahu, mereka tak pernah meminta untuk menjadi seperti mereka. Dan yang mereka lakukan adalah jalan terbaik meskipun mereka tak suka. Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.”
            Aku mencoba menyerap segala kata-katanya dan mengumpulkan ke dalam otakku sehingga aku bisa menyimpulkan sesuatu. Tapi tak ada kesimpulan apapun yang aku dapatkan, hanya sebuah pernyataan bahwa aku tak pernah mengenal Hinata. Masih begitu banyak teka-teki yang ada di setiap sudut ceritanya.
            Jadi sore itu, kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang hingga aku melihat sadar hari sudah petang ,“Ayo pulang,” Ajakku sambil menggandeng tangannya. Dia diam saja dan saat kami sudah berada di parkiran mobil, aku benar-benar terkejut saat melihat wajahnya sepucat Vampir. “Hinata kau tak apa-apa? Mukamu pucat.”
            “Aku hanya kedinginan saja.” Dia memeluk badannya sendiri dan aku langsung melepaskan jaket yang aku pakai dan menyuruhnya untuk memakai jaketku. “Teri…ma… kas…ih.” Kata Hinata terbata-bata. Dia menangis dan itu membuatku mematung. Ada apa dengannya? Melihat tangisannya, dadaku terasa sesak dan aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. Sedikit berharap dia bisa lebih tenang.
            “Hinata…”
            Sebuah suara mengagetkanku dan Hinata langsung melepas diri pelukanku. Aku menatap laki-laki yang bisa dibilang mengganggu kami dengan pandangan tidak suka, di sampingnya berdiri seorang perempuan manis dengan rambut ikal.
            “Rehan? Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Hinata sambil menyapukan jemarinya di matanya, untuk menghapus jejak-jejak air mata.
            “Tentu saja kencan. Kenalkan ini pacarku, namanya Abel. Siapa yang sedang bersamamu? Pacarmu?” Tanyanya ingin tahu.
            “Iya, dia pacarku.” Jawab Hinata pelan. Aku menatapnya tak percaya. “Namanya Andri. Kurasa kami harus segera pulang.”
            “Oh, kalau begitu kami pergi dulu.” Kata laki-laki yang bernama Rehan itu sambil meninggalkan kami.
            Setelah mereka benar-benar tak terlihat, aku memandang Hinata tajam, “Kenapa kau bilang padanya kalau aku pacarmu?”
            Aku bisa melihat ekspresi terluka dari wajah Hinata, dan itu membuatku menyesal telah menanyakan hal itu padanya. “Kau keberatan?”
            “Tidak!” tentu saja tidak. Aku sangat mencintaimu Hinata. Benar-benar mencintaimu. “Tapi beri aku satu alasan agar aku bisa mengerti apa yang terjadi. kau benar-benar aneh akhir ini. Dua hari yang lalu kau mengajakku pergi dan mendiamkanku. Hari ini tiba-tiba saja kau menangis dan mengaku kalau aku pacarmu. Ini membingungkan!”
            “Aku mencintainya.” Kata Hinata datar.
            “Siapa?” Sejujurnya aku tak mau tahu, saat dia mengatakan ‘nya’.
            “Rehan. Aku mencintainya. Dan aku menangis karena aku, tak sengaja melihatnya sedang bersama Abel. Aku sama sekali tak menyangka jika mereka akan menghampiriku, jadi maaf aku sama sekali tak berpikir saat mengatakan bahwa kau adalah pacarku.”
            Aku meremas rambutku. Benar-benar menyakitkan seolah rongga dadaku kosong tanpa isi. Hanya ada kehampaan. Dan semenit kemudian gelombang kemarahan melandaku dan menenggelamkanku ke dasarnya. Aku cemburu dan aku murka.
            “Ayo pulang!” Aku menarik tangannya dengan kasar.
            “Sakit Andri.” Hinata berusaha melepaskan tangannya dari peganganku. dan aku mendorongnya agar masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat air matanya mengalir. Dan aku sama sekali tak merasa kasihan pada orang yang bahkan tak pernah mempedulikan orang yang mencintainya.
¥¥¥
            Aku menatap lapangan basket dengan pandangan muram. Akhir-akhir ini keadaan semakin memburuk entah dalam artian apa. Aku lelah sekali, terlalu lelah untuk menghirup napas sekalipun. Aku lelah, karena aku berlatih sekuat tenaga agar aku tak mengecewakan mereka, tak seperti yang pernah aku lakukan membuat mereka kacau balau hanya demi sesuatu yang sia-sia. Aku lelah, menghindar dari Hinata. Aku tak tahu apa maunya, sejak malam yang tak pernah aku ungkit-ungkit itu dia berusaha menghubungiku dan mengucapkan kata maaf berkali-kali padaku.
            Jujur saja, aku bingung siapa yang salah di sini? Mungkin aku yang terlalu egois. Tapi aku benar-benar tidak sanggup melihat Hinata. Dia melukaiku.
            “Andri! Perlombaan sudah mau dimulai.” Kata Deri.
            Aku mengangguk dan berjalan ke lapangan. Saat itulah aku merasakan ada yang hilang. Meskipun aku tak tahu apa. Mungkin aku takut kehilangan kesempatan untuk menang. Baiklah, akan aku buktikan pada mereka bahwa aku bisa.
              Pertandingan tak membutuhkan waktu yang lama, dan seperti yang aku inginkan kami benar-benar menang. Menyenangkan rasanya. Deri mengajak kami satu tim ke kantin untuk makan-makan bersama.
            “Aku tak menyangka kita bisa menang. Mengingat Andri tengah kasmaran,” Agus berceloteh sambil menggigit gorengan.
            “Aku juga.” Timpal Deri, “Tapi Andri kan orang yang bertanggung jawab. Jadi percaya saja padanya.” dan mereka semua tertawa.
            Paradoks tingkat tinggi. Aku berjalan ke ruang ganti sendirian dan mengaktifkan ponselku untuk menghubungi Mama. Malam ini aku ingin menginap di rumah Deri saja. Sepertinya melegakan punya teman untuk bercerita.
            Sebelum aku menelpon Mama, ada satu pesan masuk ke dalam ponselku. Dan ternyata itu dari Mama.
            27/04/2011
            Pengirim : Mama
            Andri, cepat pulang Nak! Hinata dipanggil ke Rahmatulloh tadi jam lima sore.
¥¥¥
            Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
            Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi saat aku melihat orang berlalu lalang di depan rumah Hinata. Aku berharap saat masuk ke dalam rumahnya, Hinata akan menepuk bahuku dan tersenyum lembut. Miris! Hatiku beku dan aku butuh pelepasan. Tanganku membuka dasbor untuk mengambil sebungkus rokok. Tapi bukan sebungkus rokok yang aku gapai, melainkan seikat Dandelion yang telah kering. Hinata?
            Dandelion itu merosot jatuh dari tanganku dan aku lansung berlari masuk ke dalam rumah Hinata. Aku ingin mengajaknya ke hamparan Dandelion lagi. Aku tak peduli jika dia tak mencintaiku, aku akan tetap mencintainya sampai kapanpun.
            Aku terpaku saat tiba di ruang tengah milik keluarga Hinata. Di sana ada Mama, yang tengah memeluk Mama Hinata. Dan tepat di tengah ruangan, Hinata tertidur  pulas.
            “Kenapa dia tak merasa terganggu dengan semua kebisingan ini? Apakah mimpinya terlalu indah sehingga dia tak mau bangun lagi?” Tanyaku pada diriku sendiri dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
¥
Rasanya menyakitkan dan memuakkan! Kanker otak sialan. Aku bahkan tak sanggup melukiskannya dengan kata-kata. Aku juga tak tahu mengapa sekarang aku ingin segala kata-kata mengurai ceritaku, sebelum aku benar-benar pergi. Aku ingin punya satu cerita yang membuktikan bahwa aku pernah hidup. Tapi aku benar-benar pusing untuk memilih cerita mana yang ingin aku tuliskan mengingat hidupku sama sekali tak menarik untuk di baca.
            Nyaris! Semuanya monoton. Yang kutahu hanya tangis. Aku bahkan tak mengenal kata tawa. Aku merasa kata itu, hanya digunakan untuk orang-orang yang memiliki kehidupan bukan untuk orang sepertiku. Orang yang tiap harinya melihat wajah duka seolah-olah mereka menungguku untuk mati. Atau prihatin atas kematian yang akan mendatangiku. Ohh … Entahlah! Aku tak tahu.
            Tapi … Aku tetap ingin bercerita. Ini tentang Andri. Karena sejak kedatangannya semuanya berubah. Dia tampan dan memukaukan. Melihatnya membuatku berpikir aku orang yang sangat beruntung karena sebelum melihat malaikat pencabut nyawa, Tuhan memberikanku kesempatan untuk melihat bagaimana rupa malaikat sesungguhnya.
              Kurasa aku harus memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk diriku sendiri. Aku mencintainya, dan sekarang dia membenciku. Drama yang sempurna bukan? Saat aku mengatakan bahwa dia pacarku, tak ada maksud apa-apa. Aku memang berharap seperti itu. Tapi bukan harapan itu yang kudapat melainkan penolakan. Aku berbohong padanya dan aku berbohong pada diriku sendiri. Andai aku punya kesempatan aku ingin mengatakan yang sejujurnya. Dan waktuku telah habis. Aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari kata mereka, malaikat berbaju putih yang tak bisa menolongku untuk tetap hidup. Aku mengahabiskan tiga hari untuk bersamanya, dan tiga hari untuk mengenangnya. Karena ini akhir dari segala ceritaku yang ingin aku ceritakan.
            Aku meremas kertas yang tadi diberikan oleh Mamanya Hinata. Rasanya sama saja, aku juga merasa hatiku teremas. Sakit sekali! Kemudian aku terduduk dan bersandar di dinding, mau tak mau aku mengakui kalau aku menangis. Ternyata aku memang tak tahu segala tentangnya, bahkan penyakit yang selalu menggerogoti badannya pun aku tak tahu. Aku ingin pergi ke hamparan Dandelion itu lagi, dan berharap di sana ia sudah menungguku.

Sinopsis

                Aku menunggumu di hamparan Dandelion. Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku
Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
Ini semua tentang Hinata.
Karena aku tahu, dia pusat dari segala orbitku.
Tapi sejak tarian Dandelion di hari Minggu yang dia janjikan, itu mengubah segalanya. Andai saja aku bisa membaca segala tanda-tanda dari tarian Dandelion yang juga merupakan tarian ekspresinya. Andai aku tahu bahwa tarian Dandelion yang semakin lama meninggalkanku adalah tujuannya.
Aku bertanya-tanya apakah kata-kataku ambigu? Terlalu banyak  kesalahan dalam setiap interaksi yang ada. Aku merasa banyak lubang di setiap latar yang menghadirkan kita berdua. Meskipun aku baru menyadarinya.
Andai saja aku sedikit peka. Pasti kita masih berada di satu cerita yang sama.
Tapi takdir kita sudah jelas. Cerita itu telah mengalir. Dan Sketsa kehidupan telah terpampang. Tapi aku tak pernah sanggup untuk berjalan dan menggapai epilog yang aku sendiri takut untuk menapakinya. Aku pengecut.

 

 

Tarian Dandelion

oleh Oktovia Rezki Peverell pada 25 Februari 2012 pukul 16:13 ·
Tarian Dandelion
Karya : Novi Handayani

            Ini hidupku tapi bukan ceritaku. Bahkan hidupku nyaris tak ada artinya jika dibandingkan dengan cerita yang akan aku tuliskan. Ini tentangnya yang tak pernah bisa aku gapai. Tentangnya yang hanya demi dirinya aku rela memberikan nafasku, tapi aku tahu semuanya tak semudah yang aku mau. Karena aku dan dia berbeda.
            Namanya Hinata.
            Aku bertemu dengannya dua tahun yang lalu, saat aku dan keluargaku pindah ke Bandung, waktu itu aku kelas dua SMA. Aku tak tahu pasti, tapi kurasa inilah prolog ceritaku karena bermula dari sinilah alur ceritaku mengalir begitu saja tanpa pernah aku duga. Layaknya sebuah cerita, dia memang benar-benar sosok perempuan yang digambarkan dalam semua buku cerita tentang keindahan. Rambutnya hitam sepinggang terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Matanya sipit dan setiap dia tersenyum ada lesung pipi yang tersembul di kedua pipinya. Manis sekali. Tutur katanya lembut, seperti wanita Jawa meskipun yang kutahu dia sama sekali tak memiliki keturunan darah Jawa.
            “Aku menunggumu di hamparan Dandelion,” Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku.
            Aku tersenyum menanggapi permintaannya. Dan Minggu itu, aku pergi ke hamparan Dandelion yang dia maksud. Saat tiba di sana, aku melihatnya sedang duduk menungguku. Dia mengenakan dress warna putih bersih dengan rambut terurai. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan segala pesonanya. Jadi dengan hati berdebar aku mendatanginya dan duduk di sampingnya.
            “Kau terlambat lima belas menit,” Katanya dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan Dandelion yang memukau.
            “Maaf,” aku menyesal telah membuatnya menunggu.
            “Kumaafkan,” katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku menatap matanya yang bening dan ritme detakan jantungku bertambah cepat. Aku bisa melihat ada rona merah di sekitar pipinya dan dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan.
            Hening! Aku tak tahu harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang beku ini. Mulutku serasa terkunci dan aku mengerang tertahan. Hanya dia satu-satunya perempuan yang membuatku tak berkutik seperti ini. Aku membencinya karena aku tak bisa menolak pesonanya sehingga terjerat dalam ketidaknormalan ini. Tiba-tiba angin berhembus kencang, meniup rambutnya dan beberapa Dandelion. Aku bisa melihat senyuman yang terukir dari bibirnya, dan itu membuatku merasa seribu kali lebih baik. Biarlah keheningan ini menelanku asal aku bisa merasakan romantisme tanpa bahasa yang menjabarkan semuanya. Hingga matahari kembali ke peraduannya.
            “Sudah sore, aku mau pulang. Terimakasih karena telah menemaniku di sini,” Katanya sambil memetik beberapa tangkai Dandelion sebelum tersenyum padaku.
            Aku membalas senyumnya, “Dengan senang hati.”
            Lalu kami pulang, rumahnya tepat berada di depan rumahku. Saat dalam perjalanan, dia masih tak juga mengatakan apapun. Dan kali ini diamnya mengusikku. “Kau kenapa?” tanyaku.
            Dia menatapku bingung. “Memangnya aku kenapa?”
            “Dari tadi kau diam terus.”
            Dia tak langsung menjawab dan saat kami telah tiba di depan rumahnya dia berkata, “Aku merasa nyaman dengan diamku. Itu saja!” dia langsung keluar dari dalam mobil, “Bagaimana pun juga, aku senang kau menemaniku. Selamat malam.”
            Aku menatap punggungnya yang semakin lama semakin mengecil dan menghilang saat dia sudah masuk ke dalam rumah. Aku menarik napas panjang sebelum memarkirkan mobilku dan masuk ke dalam kamar. Aku melihat lampu kamarnya menyala, dan itu membuatku terdiam. Aku hanya berdiri terpaku dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
            Tapi aku semakin takut, saat keesokan harinya dia menelponku dan berkata akan menungguku di Taman Kanak-Kanak saat aku sedang berlatih basket. Aku tak tahu jenis ketakutan apa yang tengah melandaku. Irasional mungkin, karena jelas-jelas tak ada yang perlu ditakutkan. Jadi aku putuskan akan menemuinya di Taman Kanak-Kanak.
            “Deri, maaf aku tak bisa ikut latihan. Aku harus pergi.”  Kataku meminta izin.
            “Perempuan mana yang membuatmu meninggalkan latihan kita?” Aku melihatnya tersenyum sinis dan aku ingin sekali menghajarnya.
            “Bukan urusanmu!” Aku mendecih dan meninggalkan lapangan basket sebelum aku benar-benar tergoda untuk memukulnya.
            “Tentu saja itu urusanku. Lomba sudah di depan mata dan kau meninggalkan latihan hanya untuk berkencan.”
            Aku berhenti sejenak untuk memikirkan kata-katanya. Sebersit perasaan bersalah muncul dalam hatiku, tapi itu tak mengubah keputusanku. Hinata sudah menungguku dan akan tetap menemuinya.
            Saat aku tiba di Taman Kanak-kanak, aku melihatnya duduk di atas ayunan. Dia mengenakan dress warna putih sepanjang lutut dengan rambut di kepang satu. Aku mengerutkan kening, berapa banyakkah bajunya yang bewarna putih?
            “Hey, apa aku terlambat?” Tanyaku sembari duduk di sampingnya.
            Dia memandangku lembut, “Kau sedang latihan?”
            Aku bertanya-tanya dari mana dia tahu. Kemudian aku teringat aku masih mengenakan baju basket. Seharusnya aku berganti pakaian dulu. “Sudah selesai,” Dustaku.
            “Aku minta maaf, kau pasti haus.” Dia mengeluarkan sebotol air minum dari tasnya dan memberikannya padaku. Kuterima dengan senang hati dan langsung meneguknya sampai habis.
            “Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK,” Katanya sambil tersenyum lembut dan mengamati segerombolan anak-anak yang tengah bermain bola.
            “Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
            “Mereka benar-benar makhluk yang menggemaskan. Pasti menyenangkan rasanya bila tiap hari dikelilingi dengan wajah tanpa dosa yang tak pernah memikirkan stratifikasi dalam kehidupan”
             Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi tak urung jua aku mengangguk. Jadi sesorean itu kami menghabiskan waktu dalam diam untuk mengamati anak-anak itu hingga tak ada lagi anak yang bermain. Dan setelah melihat mega-mega  merah di langit, dia mengajakku pulang.
            “Terimakasih untuk hari ini,” Katanya sebelum masuk ke dalam rumah. Aku bisa melihat lesung pipinya yang selalu aku nantikan saat dia tersenyum.
            “Sama-sama.” Dan dia berbalik meninggalkanku di depan rumahnya.
            Aku menutup mataku sambil berusaha mengendurkan sarafku yang tegang. Aku merasa lelah sekali meskipun aku tak tahu apa penyebabnya. Kali ini aku tak tahu, akan menantikan apa esok pagi saat aku terbangun.
¥¥¥
            “Aku menunggumu di pusat perbelanjaan.” Suara Hinata masih berdengung di telingaku. Aku semakin tak mengerti apa maunya. Beribu pertanyaan mampir ke dalam benakku, apakah dia akan seperti hari-hari sebelumnya. Mengajakku pergi dan mendiamkanku. Aku meremas rambutku frustasi.
            “Aku harus pergi,” Kataku sambil mengambil baju ganti dan memakainya.
            “Pergi saja!” sahut Deri pedas.
            Baiklah, aku tahu kalau aku sekarang sudah benar-benar keterlaluan karena tidak ikut latihan. Tapi membayangkan Hinata di sana menungguku sendiri, itu adalah mimpi terburuk yang pernah aku alami. “Maaf, tapi aku janji kita akan menang.”
            Setelah selesai memakai baju, aku langsung ke parkiran dan mengambil mobilku untuk menemui Hinata. Saat aku tiba di sana, seperti biasa dia sudah menungguku. Tapi kali ini, dia tidak mengenakan dress warna putih melainkan celana panjang warna biru dan baju warna Ungu. Rambutnya diikat menjadi satu di sebelah kanan. Sangat kekanak-kanakan. Tapi menurutku dia imut sekali.
            “Maaf merepotkanmu,” Hinata langsung tersenyum manis saat aku berjalan ke arahnya.
            Aku menggeleng dan mulai mengancamnya, “Tapi aku akan benar-benar meninggalkanmu jika kau mengajakku hanya untuk menjadi patungmu.”       
            Dia merengut, “Tak akan. Kau tenang saja.”
            “Baiklah, sekarang kita mau ke mana?” Tanyaku.
            Mata Hinata berbinar senang saat mendengar pertanyaanku. Kemudian dia menarik tanganku keluar dari pusat perbelanjaan. “Aku tahu, kau akan mengabulkan permintaanku. Aku ingin jalan-jalan.” Aku berhenti jalan, dan Hinata juga menghentikan jalannya. “Ada apa?”
            “Kurasa sebaiknya aku mengambil mobil du…”
            “Aku mau jalan, Andri! Bukan naik mobil.” Katanya sambil melepaskan tanganku. Kemudian dia berjalan duluan di depanku dan aku langsung menyusulnya.
            “Kau marah?”
            “Untuk apa? Aku mau ke jembatan sana. Kau mau ikut tidak?” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan  ikut barjalan di sampingnya. Aku bisa mendengar Hinata tengah bersenandung kecil. Tampaknya dia sedang bahagia.  Mau tak mau aku ikut tersenyum senang. “Sudah lama sekali aku tak menghirup udara luar,” Katanya.
            “Aku senang sekali mendengarnya. Kalau aku jadi kau aku tak akan pernah home schooling. Percaya padaku, kau akan menghirup udara luar tiap hari.”
            Aku melihatnya menghentikan langkahnya, dan aku juga menghentikan langkahku. Dia menatapku lama sekali sebelum berjalan menuju ke trotoar dan duduk di situ. “Aku tak punya pilihan. Dan tak akan pernah punya pilihan. Karena apa yang aku jalani itu pilihan terbaik.”
            “Aku tak mengerti.” Kataku sambil menatap matanya.
            Hinata tersenyum ke arahku, dan menunjuk beberapa anak jalanan. “Kau tahu, mereka tak pernah meminta untuk menjadi seperti mereka. Dan yang mereka lakukan adalah jalan terbaik meskipun mereka tak suka. Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.”
            Aku mencoba menyerap segala kata-katanya dan mengumpulkan ke dalam otakku sehingga aku bisa menyimpulkan sesuatu. Tapi tak ada kesimpulan apapun yang aku dapatkan, hanya sebuah pernyataan bahwa aku tak pernah mengenal Hinata. Masih begitu banyak teka-teki yang ada di setiap sudut ceritanya.
            Jadi sore itu, kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang hingga aku melihat sadar hari sudah petang ,“Ayo pulang,” Ajakku sambil menggandeng tangannya. Dia diam saja dan saat kami sudah berada di parkiran mobil, aku benar-benar terkejut saat melihat wajahnya sepucat Vampir. “Hinata kau tak apa-apa? Mukamu pucat.”
            “Aku hanya kedinginan saja.” Dia memeluk badannya sendiri dan aku langsung melepaskan jaket yang aku pakai dan menyuruhnya untuk memakai jaketku. “Teri…ma… kas…ih.” Kata Hinata terbata-bata. Dia menangis dan itu membuatku mematung. Ada apa dengannya? Melihat tangisannya, dadaku terasa sesak dan aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. Sedikit berharap dia bisa lebih tenang.
            “Hinata…”
            Sebuah suara mengagetkanku dan Hinata langsung melepas diri pelukanku. Aku menatap laki-laki yang bisa dibilang mengganggu kami dengan pandangan tidak suka, di sampingnya berdiri seorang perempuan manis dengan rambut ikal.
            “Rehan? Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Hinata sambil menyapukan jemarinya di matanya, untuk menghapus jejak-jejak air mata.
            “Tentu saja kencan. Kenalkan ini pacarku, namanya Abel. Siapa yang sedang bersamamu? Pacarmu?” Tanyanya ingin tahu.
            “Iya, dia pacarku.” Jawab Hinata pelan. Aku menatapnya tak percaya. “Namanya Andri. Kurasa kami harus segera pulang.”
            “Oh, kalau begitu kami pergi dulu.” Kata laki-laki yang bernama Rehan itu sambil meninggalkan kami.
            Setelah mereka benar-benar tak terlihat, aku memandang Hinata tajam, “Kenapa kau bilang padanya kalau aku pacarmu?”
            Aku bisa melihat ekspresi terluka dari wajah Hinata, dan itu membuatku menyesal telah menanyakan hal itu padanya. “Kau keberatan?”
            “Tidak!” tentu saja tidak. Aku sangat mencintaimu Hinata. Benar-benar mencintaimu. “Tapi beri aku satu alasan agar aku bisa mengerti apa yang terjadi. kau benar-benar aneh akhir ini. Dua hari yang lalu kau mengajakku pergi dan mendiamkanku. Hari ini tiba-tiba saja kau menangis dan mengaku kalau aku pacarmu. Ini membingungkan!”
            “Aku mencintainya.” Kata Hinata datar.
            “Siapa?” Sejujurnya aku tak mau tahu, saat dia mengatakan ‘nya’.
            “Rehan. Aku mencintainya. Dan aku menangis karena aku, tak sengaja melihatnya sedang bersama Abel. Aku sama sekali tak menyangka jika mereka akan menghampiriku, jadi maaf aku sama sekali tak berpikir saat mengatakan bahwa kau adalah pacarku.”
            Aku meremas rambutku. Benar-benar menyakitkan seolah rongga dadaku kosong tanpa isi. Hanya ada kehampaan. Dan semenit kemudian gelombang kemarahan melandaku dan menenggelamkanku ke dasarnya. Aku cemburu dan aku murka.
            “Ayo pulang!” Aku menarik tangannya dengan kasar.
            “Sakit Andri.” Hinata berusaha melepaskan tangannya dari peganganku. dan aku mendorongnya agar masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat air matanya mengalir. Dan aku sama sekali tak merasa kasihan pada orang yang bahkan tak pernah mempedulikan orang yang mencintainya.
¥¥¥
            Aku menatap lapangan basket dengan pandangan muram. Akhir-akhir ini keadaan semakin memburuk entah dalam artian apa. Aku lelah sekali, terlalu lelah untuk menghirup napas sekalipun. Aku lelah, karena aku berlatih sekuat tenaga agar aku tak mengecewakan mereka, tak seperti yang pernah aku lakukan membuat mereka kacau balau hanya demi sesuatu yang sia-sia. Aku lelah, menghindar dari Hinata. Aku tak tahu apa maunya, sejak malam yang tak pernah aku ungkit-ungkit itu dia berusaha menghubungiku dan mengucapkan kata maaf berkali-kali padaku.
            Jujur saja, aku bingung siapa yang salah di sini? Mungkin aku yang terlalu egois. Tapi aku benar-benar tidak sanggup melihat Hinata. Dia melukaiku.
            “Andri! Perlombaan sudah mau dimulai.” Kata Deri.
            Aku mengangguk dan berjalan ke lapangan. Saat itulah aku merasakan ada yang hilang. Meskipun aku tak tahu apa. Mungkin aku takut kehilangan kesempatan untuk menang. Baiklah, akan aku buktikan pada mereka bahwa aku bisa.
              Pertandingan tak membutuhkan waktu yang lama, dan seperti yang aku inginkan kami benar-benar menang. Menyenangkan rasanya. Deri mengajak kami satu tim ke kantin untuk makan-makan bersama.
            “Aku tak menyangka kita bisa menang. Mengingat Andri tengah kasmaran,” Agus berceloteh sambil menggigit gorengan.
            “Aku juga.” Timpal Deri, “Tapi Andri kan orang yang bertanggung jawab. Jadi percaya saja padanya.” dan mereka semua tertawa.
            Paradoks tingkat tinggi. Aku berjalan ke ruang ganti sendirian dan mengaktifkan ponselku untuk menghubungi Mama. Malam ini aku ingin menginap di rumah Deri saja. Sepertinya melegakan punya teman untuk bercerita.
            Sebelum aku menelpon Mama, ada satu pesan masuk ke dalam ponselku. Dan ternyata itu dari Mama.
            27/04/2011
            Pengirim : Mama
            Andri, cepat pulang Nak! Hinata dipanggil ke Rahmatulloh tadi jam lima sore.
¥¥¥
            Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
            Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi saat aku melihat orang berlalu lalang di depan rumah Hinata. Aku berharap saat masuk ke dalam rumahnya, Hinata akan menepuk bahuku dan tersenyum lembut. Miris! Hatiku beku dan aku butuh pelepasan. Tanganku membuka dasbor untuk mengambil sebungkus rokok. Tapi bukan sebungkus rokok yang aku gapai, melainkan seikat Dandelion yang telah kering. Hinata?
            Dandelion itu merosot jatuh dari tanganku dan aku lansung berlari masuk ke dalam rumah Hinata. Aku ingin mengajaknya ke hamparan Dandelion lagi. Aku tak peduli jika dia tak mencintaiku, aku akan tetap mencintainya sampai kapanpun.
            Aku terpaku saat tiba di ruang tengah milik keluarga Hinata. Di sana ada Mama, yang tengah memeluk Mama Hinata. Dan tepat di tengah ruangan, Hinata tertidur  pulas.
            “Kenapa dia tak merasa terganggu dengan semua kebisingan ini? Apakah mimpinya terlalu indah sehingga dia tak mau bangun lagi?” Tanyaku pada diriku sendiri dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
¥
Rasanya menyakitkan dan memuakkan! Kanker otak sialan. Aku bahkan tak sanggup melukiskannya dengan kata-kata. Aku juga tak tahu mengapa sekarang aku ingin segala kata-kata mengurai ceritaku, sebelum aku benar-benar pergi. Aku ingin punya satu cerita yang membuktikan bahwa aku pernah hidup. Tapi aku benar-benar pusing untuk memilih cerita mana yang ingin aku tuliskan mengingat hidupku sama sekali tak menarik untuk di baca.
            Nyaris! Semuanya monoton. Yang kutahu hanya tangis. Aku bahkan tak mengenal kata tawa. Aku merasa kata itu, hanya digunakan untuk orang-orang yang memiliki kehidupan bukan untuk orang sepertiku. Orang yang tiap harinya melihat wajah duka seolah-olah mereka menungguku untuk mati. Atau prihatin atas kematian yang akan mendatangiku. Ohh … Entahlah! Aku tak tahu.
            Tapi … Aku tetap ingin bercerita. Ini tentang Andri. Karena sejak kedatangannya semuanya berubah. Dia tampan dan memukaukan. Melihatnya membuatku berpikir aku orang yang sangat beruntung karena sebelum melihat malaikat pencabut nyawa, Tuhan memberikanku kesempatan untuk melihat bagaimana rupa malaikat sesungguhnya.
              Kurasa aku harus memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk diriku sendiri. Aku mencintainya, dan sekarang dia membenciku. Drama yang sempurna bukan? Saat aku mengatakan bahwa dia pacarku, tak ada maksud apa-apa. Aku memang berharap seperti itu. Tapi bukan harapan itu yang kudapat melainkan penolakan. Aku berbohong padanya dan aku berbohong pada diriku sendiri. Andai aku punya kesempatan aku ingin mengatakan yang sejujurnya. Dan waktuku telah habis. Aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari kata mereka, malaikat berbaju putih yang tak bisa menolongku untuk tetap hidup. Aku mengahabiskan tiga hari untuk bersamanya, dan tiga hari untuk mengenangnya. Karena ini akhir dari segala ceritaku yang ingin aku ceritakan.
            Aku meremas kertas yang tadi diberikan oleh Mamanya Hinata. Rasanya sama saja, aku juga merasa hatiku teremas. Sakit sekali! Kemudian aku terduduk dan bersandar di dinding, mau tak mau aku mengakui kalau aku menangis. Ternyata aku memang tak tahu segala tentangnya, bahkan penyakit yang selalu menggerogoti badannya pun aku tak tahu. Aku ingin pergi ke hamparan Dandelion itu lagi, dan berharap di sana ia sudah menungguku.

Sinopsis

                Aku menunggumu di hamparan Dandelion. Katanya tiba-tiba di hari Minggu yang cerah di pertengahan Desember yang beku
Andai aku punya kehidupan, aku ingin menjadi guru TK.
            Aku pernah berandai-andai jika aku punya keajaiban untuk merubah dunia, aku tak ingin ada air mata.
Ini semua tentang Hinata.
Karena aku tahu, dia pusat dari segala orbitku.
Tapi sejak tarian Dandelion di hari Minggu yang dia janjikan, itu mengubah segalanya. Andai saja aku bisa membaca segala tanda-tanda dari tarian Dandelion yang juga merupakan tarian ekspresinya. Andai aku tahu bahwa tarian Dandelion yang semakin lama meninggalkanku adalah tujuannya.
Aku bertanya-tanya apakah kata-kataku ambigu? Terlalu banyak  kesalahan dalam setiap interaksi yang ada. Aku merasa banyak lubang di setiap latar yang menghadirkan kita berdua. Meskipun aku baru menyadarinya.
Andai saja aku sedikit peka. Pasti kita masih berada di satu cerita yang sama.
Tapi takdir kita sudah jelas. Cerita itu telah mengalir. Dan Sketsa kehidupan telah terpampang. Tapi aku tak pernah sanggup untuk berjalan dan menggapai epilog yang aku sendiri takut untuk menapakinya. Aku pengecut.