TAHU PONG KU TAK LEZAT LAGI
“Menjadi
Indonesia adalah manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula
untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu
tidak akan pernah selesai (Goenawan
Mohamad-Surat dari dan untuk Pemimpin)”
Kesejahteraan masih menjadi impian bagi
setiap orang, kutipan kata-kata Goenawan Mohamad di atas sangat tepat
menggambarkan kondisi industri makanan Indonesia pada saat ini. Adanya lonjakan
harga yang sangat tinggi pada sektor pangan khususnya dalam hal ini produksi
kedelai membuat sejumlah pedagang menjadi sangat resah setiap harinya. Sejak perajin
tahu dan tempe mogok dan menghentikan produksinya akibat mahalnya harga
kedelai, sejumlah pedagang kedelai di pasar tradisional mengalami penuruan
omzet hingga 70 persen akibat sepinya pembeli (Sindo, 10 September 2013).
Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya pedagang yang lebih memilih
kedelai impor dibandingkan dengan kedelai lokal dan akibatnya ketika tingginya
permintaan kedelai impor ini kemudian tidak diimbangi dengan ketersediaan
pasokan membuat harga kedelai impor semakin melejit.
Kedelai memegang peranan yang cukup
besar bagi industri makanan yang ada di Indonesia, olahan dari kedelai yang
sangat populer dijumpai di Indonesia adalah tahu dan tempe. Salah satu bentuk
olahan kedelai yang sangat terkenal di Semarang adalah tahu pong. Bagi
wisatawan yang berkunjung ke Kota Semarang tidak ada salahnya mencicipi tahu
pong sebagai salah satu makanan khas di kota ini. Makanan Semarang tempo dulu
yang bertahan hingga sekarang ini diberi nama tahu pong bersumber dari istilah
Jawa tahu kopong yang berarti tahu kosong.
Namun bagaimana jadinya jika harga
kedelai semakin mahal? Apakah rasa tahu
pong akan selezat dulu ketika harga kedelai belum terlalu mahal? Mungkin kita
akan mengatakan buat apa kita memikirkan masalah ini ataupun untuk apa kita
terlalu sibuk mengurusi mahalnya harga kedelai di negeri ini. Hanya saja kita
perlu berpikir jika mereka, para pedagang merupakan penompang perekonomian
negeri yang katanya kaya akan sumber daya alam ini.
Kualitas kedelai impor yang lebih
baik dari pada kedelai lokal membuat kedelai impor lebih banyak digunakan oleh
para pedagang. Sebagai Indonesia kita mungkin akan bertanya-tanya kenapa di
negeri yang begitu kaya akan hasil alamnya ini masih melakukan impor kedelai dari luar.
Apakah lahan yang begitu luas itu tidak
cukup untuk mencukupi kebutuhan kedelai di pasaran? Lantas bagaimanakah
nasib kedelai lokal yang semakin terabaikan oleh adanya kedelai impor?
Tahu pong sebagai salah satu makanan
khas di tanah diponegoro ini produksinya semakin menurun diakibatkan mahalnya
harga kedelai. Mahalnya harga kedelai ini memicu aksi mogok produksi para pedagang tahu pong di kawasan jalan Gajah Mada Semarang (Liputan
6, 12 September 2013). Banyaknya lahan yang
mengganggur dan belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh para petani
menjadi alasan yang kuat kenapa pasokan kedelai di
Indonesia selalu kurang dan mengakibatkan impor terus dibuka.
Impor
kedelai yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bukan semata-mata untuk
mematikan potensi petani lokal dalam memproduksi kedelai yang ada, impor ini
bertujuan untuk mencukupi kekurangan kebutuhan kedelai yang ada di masyarakat. Pemerintah
sudah berusaha untuk memperbaiki keadaan yang ada dan tugas kita sebagai
seorang Indonesia juga perlu berpikir bahwa perbaikan yang ada tidak akan
pernah sempurna serta ikhtiar itu tidak
akan pernah selesai.