Jumat, 20 Juli 2012

Hilangnya Titian Muhibah Itu

Hilangnya Titian Muhibah Itu

PADA masa pemerintahan Soeharto, pemirsa televisi Indonesia secara rutin disuguhi Titian Muhibah, suatu acara hiburan yang menampilkan penyanyi Indonesia dan Malaysia. Pada acara itu, penyiar televisi dari dua negara bisa saling berkomunikasi secara langsung. Indonesia menampilkan para penyanyi yang terkenal tidak saja di Tanah Air, tetapi juga di Malaysia. Malaysia juga menghadirkan penyanyinya yang dikenal luas di Indonesia. Benar-benar suatu titian muhibah. Bangsa serumpun bisa tampil menghibur bersama-sama.

Ruth Sahanaya dan Band Karimata tampil dalam acara "Titian Muhibah" di TVRI, tahun 1990. (Dok SP/HY)

Acara Titian Muhibah itu sudah lama menghilang bersama tumbangnya rezim Soeharto. Hubungan kultural yang manis itu bagai tak berbekas lagi. Yang muncul belakangan justru ketegangan-ketegangan budaya. Ketegangan itu dimulai ketika Malaysia mengklaim batik, Reog Ponorogo, Tari Indang Bariang, dan lagu Rasa Sayange sebagai miliknya dalam dua tahun terakhir.

Masalah-masalah tersebut belum tuntas diselesaikan, kini datang masalah baru, yakni pengakuannya Tari Pendet sebagai miliknya. Tarian Pendet muncul dalam iklan promosi program (teaser) Discovery Channel berjudul Enigmatic Malaysia. Enigmatic Malaysia adalah judul dari enam film dokumenter yang diproduksi oleh sebuah rumah produksi Malaysia bernama KRU Studios Production untuk memperingati kemerdekaan Malaysia. Rumah produksi Malaysia itu memiliki cabang di Indonesia, Singapura, dan beberapa negara Eropa.

Enam film dokumenter itu adalah The Malaccan Portuguese-Preserving Their Heritage, Bajau Laut-Nomads of the Sea, Keris-the Myth and the Magic, Kellie's Castle-Myth and Mystery, Batik, dan Wau. Pihak KBRI di Malaysia telah mengadakan klarifikasi dengan pihak KRU Studios Production yang mengakui memang Tari Pendet ditampilkan dalam salah satu film yang akan ditayangkan oleh Discovery Channel.

Nota Protes

Rakyat Indonesia terkejut dengan klaim tari itu seakan milik Malaysia. Menariknya, Pemerintah Malaysia juga justru terkejut. Pengklaiman tersebut telah membangkitkan reaksi keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik melayangkan nota protes kepada Pemerintah Malaysia, terkait klaim Malaysia atas Tari Pendet sebagai kekayaan budayanya dalam iklan yang ditayangkan Discovery Channel. Menbudpar meminta penayangan iklan itu dihentikan. Dalam konferensi pers di kantornya, Menbudpar mengemukakan telah memanggil Duta Besar Malaysia, namun yang hadir adalah Wakil Duta Besar Malaysia Amran Mohammad Zein menggantikan duta besar yang sedang pada proses penggantian dari pejabat lama ke pejabat baru.

Tidak hanya seniman Bali yang protes keras. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Presiden berharap Pemerintah Malaysia menjaga sensitivitas rakyat Indonesia, sebab tarian itu sungguh-sungguh berasal dari Bali-Indonesia. Karena itu, dia menganggap protes Pemerintah Indonesia terhadap klaim Pemerintah Malaysia tidak berlebihan.

Menurut Presiden, beberapa tahun lalu, atas inisiatifnya Indonesia dan Malaysia membentuk eminent person group (EPG) yang khusus mengelola permasalahan, persengketaan antarkedua bangsa, termasuk isu-isu tentang hak cipta dan karya budaya, serta karya peradaban di antara kedua bangsa. "Dengan semangat itu, kita ingin menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia. Berkaitan dengan isu Tari Pendet yang menjadi bagian dari iklan di Malaysia itu, ke depan, pemerintah Malaysia sungguh memberikan atensi, menjaga perasaan masyarakat Indonesia, memelihara hubungan baik dan eminent person group bisa difungsikan untuk mencegah hal-hal seperti sekarang. Ini harapan saya dengan semangat, sekali lagi untuk menjaga dan memelihara hubungan baik," jelas Presiden.

Protes terhadap Malaysia, menurut Presiden, juga bertujuan untuk kebaikan hubungan masa depan ke dua negara. Indonesia dan Malaysia, misalnya, telah melakukan kerja sama di bidang ketenagakerjaan. Warga negara Indonesia yang bekerja di sana berjumlah sekitar 1,8 juta orang. Masalah tenaga kerja ini juga sensitif dan banyak muncul. Namun, ada kemajuan kerja sama antarkedua pemerintah.

Kalau masyarakat Indonesia geram dengan klaim Malaysia terhadap Tari Pendet, bisa dipahami. Entah apa lagi milik Indonesia yang akan diklaim sebagai milik mereka. "Bisa jadi Candi Borobudur adalah berikutnya," kata sastrawan Remy Silado. Remy menengok ke masa lalu. Pada tahun 1957, Malaysia mencomot lagu asli Indonesia yang berjudul Terang Bulan. Pada saat itu, Malaysia sedang mempersiapkan diri untuk menyambut kemerdekaannya, yang jatuh pada tahun 1958. Lagu Terang Bulan, yang muncul di Indonesia pada masa Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL), diminta oleh Malaysia untuk dijadikan lagu kebangsaan mereka.

Tersadar

Klaim yang dilakukan Malaysia membuat kita bangun dari tidur dan kemudian menyadari betapa kaya bangsa kita dalam memiliki keanekaragaman budaya. Kita geram pada Malaysia atas ulahnya yang mengambil kebudayaan kita. Kita baru memberi perhatian setelah ada harta budaya kita diambil orang.

Kecolongan budaya yang kita alami seharusnya bisa menjadi bahan refleksi. Apakah kita sudah cukup memperhatikan kebudayaan kita? Bukankah selama ini kebudayaan masih terpinggirkan? Pemerintah dan masyarakat tak lagi peduli. Padahal, kebudayaan itu menjadi identitas suatu bangsa yang memiliki manfaat bagi suatu bangsa. Indonesia begitu diberkati karena memiliki beragam budaya yang tidak ada duanya di dunia.

Kita tidak boleh berpangku tangan lagi untuk mempercepat inventarisasi semua kekayaan anak bangsa dan dipatenkan, baik untuk tingkat nasional maupun dunia sebagai bagian dari world heritage. Kita harus peduli dan rajin mencantumkan semuanya itu menjadi karya kita. Jadi, kita sendiri sudah harus semakin peduli, tatanan dunia sekarang ini

Sejauh ini, sejumlah kekayaan budaya Indonesia sudah diakui oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa UNESCO. Lembaga itu sudah mengakui dan menerima wayang dan keris sebagai global heritage. Saat ini yang masih ditunggu pengakuan oleh lembaga yang sama adalah batik dan angklung. Diharapkan, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi kedua hal itu juga diterima oleh UNESCO sebagai karya Indonesia.

Kita perlu belajar banyak dari sejumlah kasus pengklaiman budaya kita oleh Malaysia. Sebagai bangsa serumpun seharusnya kita menjalin titian muhibah. Namun, beberapa kasus pengklaiman telah membuat titian muhibah itu putus. Kita berharap titian muhibah yang sudah ada sebelumnya janganlah menjadi titian musibah. Dua penari Pendet dalam iklan yang ditayangkan Malaysia tersebut merupakan alumnus ISI Denpasar. Bukankah itu menjadi bukti hubungan yang bagus selama ini?

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura-pura di Bali. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi tari "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukan yang memerlukan pelatihan intensif, Tari Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pria dan wanita. [W-9]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 30 Agustus 2009

Kamis, 19 Juli 2012

Klaim Budaya Indonesia oleh Malaysia (Kajian Kritis Klaim Tari Tor-Tor)


Klaim Budaya Indonesia oleh Malaysia (Kajian Kritis Klaim Tari Tor-Tor)[1]
(Oleh Danu Wijaya, Oktovia Rezki N.H, dan Wahyu Andika Romadhoni)[2]

A.     Pendahuluan
Masyarakat di tanah air kembali heboh dengan perselisihan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Kali ini giliran Tari Tor-Tor dan Gordang Sambilan. Dua budaya Mandailing ini mendapat rencana  akan diregistrasikan ke dalam warisan budaya Malaysia agar dapat dilestarikan”[3].
Fenomena di atas tidak lazim lagi kita temukan sekarang, polemik Indonesia Malaysia masih terus mencuat akhir-akhir ini. Berbagai media banyak memberitakan perihal masalah Indonesia Malaysia. Pasalnya Negeri Jiran tersebut telah melakukan sejumlah pengklaiman budaya Indonesia. Masyarakat di tanah air kembali dibuat gerah dengan perselisihan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Kali ini Negeri Jiran itu akan mendaftarkan Tari Tor-Tor dan Gordang Sambilan, dua budaya Mandailing, dalam warisan budaya mereka[4].
 Indonesia mempunyai kekayaan budaya yang berlimpah dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan Malaysia dalam hal budaya tidak seberapa besar kekayaannya, apabila di banding dengan bangsa sebesar Indonesia[5]. Melihat kekayaan budaya Indonesia yang begitu besar itulah yang membuat Malaysia mulai membangun jati dirinya dengan mengambil kebudayaan Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir Malaysia sudah 7 kali mengklaim budaya Indonesia sebagai warisan budaya mereka. Klaim Malaysia dimulai pada November 2007 terhadap kesenian Reog Ponorogo. Selanjutnya pada Desember 2008, saat itu Malaysia mengklaim lagu "Rasa Sayange", disusul dengan batik yang diklaim Malaysia pada Januari 2009. Selanjutnya ada Tari pendet dari Bali dan alat musik angklung yang juga diklaim oleh mereka[6].
 Sebagai masyarakat Indonesia, kita tidak bisa menutup mata jika  Indonesia memiliki budaya yang sangat banyak. Sedikit mengutip dari Kompasiana, Buku Ilmu Budaya Dasar Universitas Gunadarma bahwa budaya yang seharusnya jadi kebanggaan bangsa Indonesia itu terkadang sering dilupakan dengan masuknya budaya modern.
Kebudayaan yang dilupakan oleh bangsa inilah yang membuat momok  besar bagi Malaysia untuk melakukan sejumlah klaim budaya. Termasuk salah satu kesempatan besar yang diambil oleh Malaysia adalah Tari Tor-Tor. Berangkat dari hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengungkapkan misteri dibalik pengklaiman Tari Tor-Tor ini, sebenarnya apa tujuan Malaysia dibalik pengkaliman  tari Tor-Tor ini? Lantas apa yang menyebabkan Negeri Jiran tersebut begitu tertarik mengklaim budaya Indonesia? Lalu bagaimanakah solusi terbaik yang bisa ditawarkan untuk menghadapi polemik Indonesia-Malaysia ini?
B.      Isi
1.      Sejarah Klaim Budaya Indonesia oleh Malaysia
Issue klaim budaya ini sudah dimulai sejak zaman dahulu kala daerah (kawasan Asia Tenggara terutama termasuk tanah melayu) ini berubah-ubah kekuasaan serta rajanya. Dahulu ada kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Sriwijaya kekuasaannya meliputi Sumatera Bagian Timur termasuk semenanjung malaka (Malesa Barat saat ini). Kemudian daerah ini diserang oleh Majapahit. Dan akhirnya daerah kekuasaan Sriwijaya ini dikuasai Majapahit.
Majapahit inilah yang sering menjadi lagu dan dongengan serta lamunan indah yang dibanggakan sebagian rakyat Indonesia bahwa “dahulu” pernah ada kekuasaan yang pernah besar menguasai Asia tenggara hingga Filipina dan berpusat di Jawa. Sementara di sisi lain di Sriwijaya sendiri Pangeran Sriwijaya Parameswara dengan para pengikutnya juga mendirikan kerajaan Melaka membentuk kesultanan Melaka. Ketika Kasultanan itu berkembang, Majapahit sudah mulai memudar sekitar 1400-an. Pusat Melaka ini ada di Negeri Melaka saat ini. Kesultanan Melaka inilah yang selalu menjadi dongengan indah dan manis bagi Rakyat Malesa saat ini[7].
Saling klaim daerah ini sudah ada sejak zaman raja-raja dahulu. Sangat wajar kalau ada sedikit kekesalan Sultan Melaka yang terusir dari Sriwijaya yang berpusat di Palembang ini. Jadi, sewajarnya kita sebagai bangsa Indonesia tidak perlu heran lagi jika sekarang sedang maraknya pengklaiman budaya yang dilakukan oleh Negeri Jiran tersebut. Karena pengklaiman tersebut sudah terjadi sejak zaman nenek moyang kita hidup dan sebenarnya Malesa sedang melakukan proyek utama untuk mencari jati diri mereka apakah akan menjadi bangsa Melayu, Bangsa India atau Bangsa China. Hanya waktulah yang akan menjawab semua itu.
2.      Penyebab Terjadinya Klaim Tari Tor-Tor
Dibalik pengklaiman tari Tor-Tor yang dilakukan oleh Malaysia itu sendiri, ternyata hanya ada empat akar permasalahan yang memicu terjadinya klaim budaya tersebut. Pertama Malaysia merupakan negeri yang  sedang mencari jati diri budayanya. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini Malesa memang sedang “moncer” kata orang jawa, bahasa gaulnya sedang jadi “belalang” alias “naik daun“. Namun karena memang secara sejarah Malesa tidak memiliki hal yang khusus maka Malesa pun harus memulai dengan mencari jati dirinya dengan mencoba mengklaim sana-sini.
Kedua Malesa masih menggunakan cara lama untuk “mendekatkan diri” dengan Indonesia, mereka menarik minat dengan merayu menggunakan issue serumpun (melayu) dan seiman (muslim). Malaysia telah mengetahui kelemahan Indonesia yakni tidak kuat menjaga identitas Melayu. Karena itu, Malaysia dengan mudah mengakui budaya Indonesia sebagai bagian budaya negaranya.
Ketiga pemerintah indonesia baru bertindak setelah kebudayaannya diklaim oleh negara lain dan keempat  sebagian besar masyarakat Indonesia belum menjadikan usaha menjaga dan melestarikan sebagai sebuah kebutuhan. Misalnya, saat kita berusaha untuk melestarikan tari Tor-Tor di masyarakat, kita juga harus mengetahui asal-usul sejarah tari Tor-Tor tersebut dan mengetahui makna yang terkandung di dalam tarian tersebut. Dengan demikian, masyarakat akan teredukasi dengan baik soal kekayaan budaya yang dimiliki.
            Dari keempat akar permasalahan pengklaiman tersebut, Malaysia sebenarnya memiliki tujuan lain dibalik semua itu. Jika kita melakukan analisa, Malaysia melakukan klaim tari Tor-Tor ini, sepertinya sangat hati-hati sekali. Hal itu terlihat dari prosedur yang diterapkan sebelum mengklaim. Malaysia membuat sejumlah jadwal yang rutin, konsisten, dan terjadwal dengan baik. Sehingga, targetnya Malaysia bisa mempromosikan kegiatan seni dan budaya tersebut untuk menggaet turis asing ke negaranya. Karena logikanya begini, ketika turis dari berbagai penjuru dunia ingin menyaksikan pertunjukan budaya dari berbagai suku bangsa, terutama di wilayah Asia atau Asia Tenggara, maka belum tentu turis itu bisa menemukan pertunjukan yang ingin ditonton itu di negara asal pemilik budaya itu, misalnya Indonesia. Bisa saja di negara asalnya, pertunjukan budaya itu tidak dilakukan dengan rutin, tidak ada jadwal pertunjukan yang pasti, dan tidak ada informasi dan promosi yang memadai.

   Solusi untuk Mengatasi Pengklaiman Tari Tor-Tor
    Terkait dengan klaim tari Tor-Tor oleh Malaysia, tidak ada cara lain yang bisa kita tempuh untuk menyelamatkan kesenian asal Mandailing tersebut. Peran generasi muda sebagai penyelamat budaya dalam hal ini sangat dibutuhkan, karena dengan ide-ide yang kreatif dan cemerlang tersebut para generasi muda mampu membantu pemerintah dalam menyelesaikan kasus klaim tari Tor-Tor ini. Tapi anehnya, sebagai anak bangsa kadang kita tidak mengetahui dan kadang melupakan kebudayaan sendiri, sementara orang luar negeri malah tertarik dengan kebudayaan Indonesia yang unik, menarik dan khas. Hal inilah yang terkadang membuat rasa solidaritas diantara generasi muda kian menurun. Pudarnya nilai solidaritas inilah yang sering membuat kebudayaan kita sering diklaim oleh bangsa lain. Sebenarnya jika kita lebih bisa mencintai dan mengenal Indonesia lebih dekat lagi maka tidak akan terjadi hal seperti ini dan Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan keanekaragaman flora dan fauna serta hasil tambang dan hasil alam yang berlimpah dan ada yang menyebut negara Indonesia sebagai pulau Atlantis. Untuk itulah sudah seharusnya generasi muda yang meneruskan budaya yang sudah mulai terlupakan tersebut, dalam hal ini adalah tari Tor-Tor. 
     Dalam menanggapi kasus klaim tari Tor-Tor ini, pemerintah Indonesia harus segera membuat suatu Undang-Undang yang mengatur mengenai kebudayaan tradisional agar dapat melindungi aset kebudayaan tradisional milik Indonesia khususnya dalam hal ini adalah Tari Tor-Tor sehingga tidak diklaim oleh pihak lain. Dengan adanya pengukuhan didalam suatu Undang-Undang maka kebudayaan tersebut telah memiliki legitimasi hukum yang kuat.  Peran generasi muda dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk mensosialisasikan Undang-Undang kebudayaan yang telah dibentuk oleh Pemerintah tersebut.
      Banyak sekali kebudayaan yang sangat unik dan menarik dari Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan banyak provinsi dari Sabang hingga Merauke. Negara tercinta Indonesia patut bangga dengan keanekaragaman seni dan budaya yang tersebar di setiap daerah dan provinsi, tetapi keberagaman budaya ini tentunya tidak akan mengurangi semangat solidaritas diantara para pemuda. Budaya Indonesia merupakan salah satu bentuk kepribadian bangsa kita. Pendeknya jika bangsa Indonesia tercerai berai maka budaya Indonesia tidak akan bisa terbentuk dan bersatu. Begitu pula kepribadian Indonesia lama-lama akan terhapus. Apabila para pemuda di setiap daerah yang ada di Indonesia bersatu untuk mendukung kegiatan sosialisasi ini maka kasus klaim budaya seperti ini tidak akan terjadi lagi diantara Indonesia dan Malaysia.
       Kegiatan sosialisasi dari Undang-Undang kebudayaan ini dapat dilakukan oleh para pemuda melalui pembentukan media komunikasi diantara kedua negara Indonesia dan Malaysia. Media komunikasi tersebut nantinya dibentuk sebagai semacam media untuk berkomunikasi di antara kedua negara sehingga jika ada masalah-masalah budaya bisa dibicarakan secara lebih intensif, lebih langsung, dan lebih bersahabat. Dengan begitu, tidak menimbulkan kesalahpahaman atau letupan-letupan di kalangan masyarakat yang mungkin ada salah pengertian mengenai masalah itu. Media komunikasi yang digagas itu di antaranya menghidupkan kembali acara titian muhibah yang sebelumnya pernah diselenggarakan kedua negara. Siaran berita kedua negara pun digagas dihidupkan kembali agar bisa mempererat tali persaudaraan di antara ke dua negara tersebut. Sebenarnya perselisihan antara kedua negara tersebut sangat tidak diinginkan oleh kita para generasi muda, karena hanya akan menimbulkan perpecahan kedua bangsa. Untuk itulah adanya media komunikasi merupakan solusi yang tepat dan diharapkan mampu menumbuhkan semangat solidaritas kedua bangsa melalui peran pemudanya.
       Para pemuda juga dapat mengambil peran melalui acara titian muhibah yang diselenggarakan oleh kedua negara, sehingga acara yang dibawakan bisa dikemas dengan semenarik mungkin dan tidak meninggalkan kesan bosan bagi para pemuda zaman sekarang. Acara titian muhibah tersebut tidak hanya berupa siaran berita antar kedua negara tetapi juga sebagai bentuk acara hiburan suatu acara hiburan yang menampilkan penyanyi Indonesia dan Malaysia. Pada acara itu, penyiar televisi dari dua negara bisa saling berkomunikasi secara langsung. Indonesia menampilkan para penyanyi yang terkenal tidak saja di Tanah Air, tetapi juga di Malaysia. Malaysia juga menghadirkan penyanyinya yang dikenal luas di Indonesia. Benar-benar suatu titian muhibah. Bangsa serumpun bisa tampil menghibur bersama-sama. Dengan begitu para pemuda akan lebih mengetahui kebudayaan negaranya sendiri dan lebih mencintai solidaritas antar kedua bangsa. Dengan adanya dua solusi tersebut, ada baiknya kita berpikir jika klaim budaya ini merupakan moment positif untuk menumbuhkan semangat solidaritas antar kedua bangsa.
Kesimpulan
1. Akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya pengklaiman tari Tor-Tor oleh Malaysia yaitu: Malaysia merupakan negeri yang sedang mencari jati diri budayanya, alasan serumpun dan seiman (muslim), Indonesia baru bertindak setelah diklaim, dan masyarakat Indonesia tidak menjadikan budaya sebagai suatu kebutuhan. Dan tujuan dari pengklaiman oleh Malaysia tersebut tidak lain untuk mendapatkan keuntungan dengan menggaet wisatawan asing ke ngerinya .
2.Solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penggagasan media komunikasi Indonesia-Malaysia dan pembuataan Undang-Undang Kebudayaan sebagai legitimasi hukum yang kuat.


[1] Diajukan untuk Essay Writing Competition OIS 2012
[2] Siswa-siswi SMAN 2 SEKAYU, KAB.MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN
[7] I Wayan Badrika, Sejarah untuk SMA Kelas XI Program Ilmu Alam, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, hlm.47.

Rabu, 11 Juli 2012

Epilog Yang Tak Jua Terjamah

epilog yang tak jua terjamah_novi handayani

27 April 2009



Assalammualaikum Saudaraku…

Aku tak tahu harus menulis apa. Karena ada begitu banyak yang ingin aku ceritakan. Jika kau ingin bertanya bagaimana kabarku, aku ingin bilang untuk saat ini aku baik-baik saja dan aku tengah bersembunyi di reruntuhan puing bangunan yang baru saja rubuh. Bahkan tanganku masih gemetar.

Lalu apa kabarmu?

Kau tahu, setiap hari Ibu selalu berdoa agar kau di sana dalam keadaan baik-baik saja, aku juga. Meskipun kuakui aku benar-benar iri padamu, kau tinggal di tempat paling subur di dunia dan tak ada orang yang akan mengincar nyawa kalian setiap saat dengan roket yang selalu berterbangan. Pasti menyenangkan bukan?

Kakak …

Akhir-akhir ini keadaan semakin memburuk. Dan aku tak bisa berpura-pura lagi aku benar-benar takut. Ketakutan itu menggerogotiku dan mengutukku ke tempat yang menjijikkan. Tapi apakah ada yang salah dengan ketakutanku? Ada begitu banyak alasan yang membuatku benar-benar takut. Aku takut setiap melihat Ibu semakin hari keadaannya semakin memburuk. Wajahnya sangat pucat dan itu selalu mengingatkanku pada mereka yang kalah dalam peperangan dan mati syahid. Muka mereka juga pucat. Aku takut saat melihat ke langit. Ini adalah trauma berkepanjangan yang tak akan pernah bisa aku jelaskan. Seolah-olah di langit sana ada hujan roket dan itu membuatku gila karena aku bersikap gila saat aku keluar rumah yang tak ada perlindungannya. Aku takut karena peperangan ini juga belum berhenti. Semakin lama perang ini berlangsung semakin kecil pula kesempatanku untuk meraih apa yang ingin aku raih. Tapi aku tahu, ini bukannya saat untuk bermimpi ini adalah saatnya untuk realistis. Aku tak akan berharap banyak. Tapi aku bolehkan sedikit saja berharap semua akan baik-baik saja.

Kakak …

Apa kau tahu kenapa perang ini tak juga mau berakhir? Aku merasa dan seharusnya semua orang juga merasa bahwa perdamaian itu lebih indah dari pada menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Apakah mereka sudah benar-benar biasa mencium bau anyir darah sehingga rasa kasihan itu tak lagi ada.

Jujur saja, aku bukan mental jajahan dan juga bukan bermental penjajah. Aku tak tahu siapa yang menjajah dan siapa yang dijajah. Tapi aku ingin tahu apa salahku dan juga salah mereka? Karena aku benar-benar tak tahu apa-apa. Yang aku tahu nyawa kami sedang dalam ancaman besar. Sebenarnya ini juga bukan masalah karena nantinya kami juga akan mati. Tapi aku selalu membayangkan aku mati dalam dekapan Ibu dan kau ada di sampingku bukan di reruntuhan puing-puing dengan kaki dan tangan melepuh. Aku takut. Banar-benar takut.

Kapan Kakak pulang? Apakah di sana benar-benar menyenangkan hingga kau tak juga pulang. Indonesia. Negara yang populasi muslimnya terbanyak di dunia. Aku juga ingin ke sana. Tapi aku memilih untuk tetap di sini, bersikap nasionalisme. Karena aku memang tak punya pilihan. Hahaha … Ironis sekali.

Aku benar-benar merindukanmu dan berharap Kakak ada di sini.

Kurasa aku harus ke tempat pengungsian sekarang. Ibu pasti sudah menungguku. Jaga dirimu selalu, Kak. Aku menyayangimu.

Wassalamualaikum …

Adikmu ….

Aqsha

17 September 2009



We Will Not Go Down

By : Michael Heart

We will not go down

In the night, without a fight

You can burn up our mosques and our homes and our school

But our spirit will never die

We will not go down

In Gaza tonight

We will not go down

In Gaza tonight

Akhir-akhir ini aku lebih dekat dengan lagu ini. Aku tak tahu dekat dalam artian apa. Apakah sedekat aku dengan surat Al-Anfal? Hanya saja rasanya menyenangkan di luar sana ada sesosok manusia memperhatinkan nasib kami. Sebenarnya bukan itu juga yang aku mau. Entahlah, perasaanku semakin hari semakin kacau jadi kata yang ingin aku tuliskan pun semakin berantakan. Mungkin akan sedikit terbaca rancu. Aku hanya merasa senang karena aku tak sendiri.

Kakak ....

Semuanya semakin runyam semenjak Ibu tak ada. Aku sendirian di sini. Kapan kau pulang dan menjemputku ke tempatmu? Aku sudah tak kuat lagi menyaksikan yang akan lebih parah dari pada ini. Rangkaku tak lagi mau berkompromi untuk menopang tubuhku agar aku tetap berdiri. Aku benar-benar lelah, aku ingin tertidur selamanya saja. Seperti ibu, wajahnya damai sekali meskipun tak lagi utuh. Aku ingin pergi ke tempat di mana pun Ibu berada.

Kakak ....

Kejadiannya begitu cepat dan tahu-tahu Ibu sudah tertidur di reruntuhan puing bangunan. Aku sendiri saat itu tidak bersama Ibu, aku sedang mencari makanan untuk makan malam kami. Tiba-tiba sebuah roket meluncur dan aku lari tunggang langgang bersembunyi di balik sebuah batu besar. Cukup lama aku duduk di situ gemetaran. Aku benar-benar takut, Kak. Tidak pernah setakut ini. Lalu aku teringat Ibu dan aku segera pulang mencari Ibu, di jalan tak henti-hentinya aku membaca surat Al-Anfal.

Kakak ....

Apakah kau tahu bagaimana rasanya saat kau pulang dan melihat tempat orang yang sangat kau sayangi sudah rata dengan tanah. Dan orang yang kau sayangi itu tengah terbaring sakit tak dapat melakukan perlawanan apapun untuk menghindari roket-roket jahanam. Sakit Kak! Benar-benar sakit hingga membuatku mati rasa. Aku meraung dan terduduk di sana.

Kakak ...

Saat itu juga aku menghambur ke reruntuhan itu dan mengais apa yang bisa aku temukan di sana. Aku berharap aku tak menemukan apapun. Aku juga tak tahu aku mencari apa karena aku tak ingin mencari apapun. Hanya saja kakiku terus melangkah dan kau tahu apa Kak. Aku menemukan sepotong tangan di tumpukan batu bata. Jemari-jemarinya mencengkram Al-Quran dan di pergelangan tangannya ada sepasang gelang yang pernah kau buatkan untuknya. Aku tersenyum miris, berharap ini semua hanya lelucon dan aku akan melihat Ibu menepuk pundakku seraya berkata, ‘kau sudah sholat belum?’

Tapi aku tahu itu semua tak akan pernah terjadi lagi. Di sini aku merasa tak jauh beda dengan mereka semua. Aku benar-benar sendirian. Aku merindukanmu sangat merindukanmu hingga rasanya menyesakkan. Aku membutuhkanmu. Aku tak kuat untuk sendiri lagi.

Ada begitu banyak kejadian yang ingin aku ceritakan padamu. Tapi aku tak memiliki waktu banyak untuk menghamburkan tinta ke dalam sebuah cerita. Sekarang aku sudah menjadi relawan dan menolong siapa saja yang membutuhkanku karena ada begitu banyak orang yang harus ditolong.

Aku hanya bisa berharap entah itu kapan aku bisa melihatmu lagi..

Hampir saja lupa, tiga hari sebelum kepergiannya. Ibu selalu menceritakan padaku tentang masa kecilmu saat aku belum lahir. Beliau bilang kau adalah anak termanis yang pernah ada. Dan beliau sangat merindukanmu lalu ujarnya dia menginginkan menantu yang baik sholelah darimu. Kapan kau akan memberikan kakak ipar untukku?

Aku ingin kau benar-benar cepat pulang karena masih banyak yang akan aku ceritakan tentang apa saja yang telah dikatakan Ibu.

Karena aku ingin melihat kakak iparku dulu sebelum aku membusuk karena roket. Kurasa aku harus benar-benar pergi sekarang. Mereka semua membutuhkanku.

Salam rinduku untukmu.

Adikmu

Aqsha

¥¥¥


7 Desember 2009, Jakarta.



Aku menutup mata setelah membaca dua surat terakhir dari adikku, yang sekarang berada di Pelestina. Pasti butuh perjuangan yang berat untuk mengirimiku sebuah surat. Aku tahu bagaimana peliknya hidup di sana karena telivisi tak pernah berhenti

mengabarkan berita duka dari negeri yang sudah lama aku tinggalkan. Aku merasa menjadi orang paling pengecut yang pernah ada.

Disana …

Adikku berjuang melawan apapun yang ada di sana. Kelaparan, ketakutan, dan yang membuatku gentar dia juga melawan kematian. Aku benar-benar menyesali nasibku yang bisa terdampar di negeri ini. Negeri asing yang memiliki tingkat tertinggi kasus abortusnya untuk wilayah Asia. Astaghfirullah! Aku benar-benar tak tahu dengan negeri yang sekarang aku diami ini. Apakah karena di negeri ini tidak ada konflik bersenjata seperti di sana, sehingga orang bisa melakukan hal hina tersebut? Sepertinya mereka belum menghargai arti sebuah nyawa bagi kami yang ada di sana. Memang hampir setiap hari di Gaza sejak penyerangan Israel, kami menyaksikan bayi-bayi kami mati, namun, bukanlah diselokan-selokan, atau got-got apalagi di tempat sampah. Setahuku, mereka mati syahid. Mati syahid karena serangan roket tentara Israel!

Kami menemukan mereka tak bernyawa lagi dipangkuan ibunya, di bawah puing-puing bangunan rumah kami yang hancur oleh serangan roket tentara Zionis Israel. Karena bagi kami nilai seorang bayi adalah aset perjuangan perlawanan kami terhadap penjajah Yahudi. Mereka adalah mata rantai yang akan menyambung perjuangan kami memerdekakan Negeri kami.

Dan di sini, benar-benar tak ada yang bisa aku lakukan. Duduk diam dengan keringat mengucur karena gelisah sembari membaca berita kemudian berjalan kesana-kemari mencoba berpikir apa yang bisa aku lakukan. Dan aku selalu mengalami kebuntuan. Otakku serasa mati dan segala opini yang muncul dalam benakku selalu saja terasa konyol. Ini cerita nyata bukan khayalan seorang pujangga. Tapi kadang aku juga berharap ini cerita fiksi saja, jadi saat aku merasa mereka sudah keterlaluan dengan mematikan begitu banyak peran atas nama warga Palestina aku akan membuat alur layaknya cerita biasa.

Kebenaran itu terungkap dan mereka semua telah menyerah. Menyerah karena kalah dan juga sadar mereka telah salah. Dan kami hanya tersenyum simpul sembari

mengatakan tidak apa-apa, lupakan saja yang telah berlalu. Kita mulai lembaran baru yang lebih indah.

Dan setiap kali aku membayangkan hal ini, hatiku miris seketika. Seolah tamparan yang amat kuat telah menyadarkanku dari keterpurukan yang tak berkesudahan. Aku lelah karena ini semua nyata. Aku juga takut karena tidak hanya Aqsha, aku juga mulai gila. Aku gila karena aku selalu duduk gelisah kemudian aku merasa lega saat mereka baik-baik saja kemudian kegelisahan itu menendangku hingga membuatku jatuh tersungkur karena tidak semua baik-baik saja. Aku gila, karena aku tidak bisa melakukan apapun. Aku benar-benar ingin pulang.

Aku terperangkap dengan kontrak kerja. Aargh ... peduli setan dengan kontrak sialan itu, adikku lebih penting. Aku sudah kehilangan Ibuku dan aku tak mau kehilangan orang yang aku sayangi untuk kedua kalinya. Aku menyambar telepon, mendekatkannya ke telinga dan menghubungi bandara untuk memesan tiket pesawat. Aku bisa berhenti di mana saja, dan melanjutkan perjalanan dengan jalur darat melalui Jalur Rafah. Aku tahu jalur itu terbuka. Aku tahu seluk-beluk negaraku itu dan aku percaya tak ada orang yang mengenal Palestina sebaik aku mengenalnya.

¥¥¥

Aku tiba di Palestina tanggal 15 Desember 2009. Benar-benar perjalanan yang sangat panjang. Aku hanya bisa melakukan perjalanan di malam hari saat aku sudah menggunakan jalur darat. Ada begitu banyak tentara Israel yang berkeliaran dan aku percaya jika mereka melihatku maka aku akan langsung dihabisi oleh mereka.

Tapi semua lelah itu terbayar saat aku melihat Aqsha tengah merawat anak kecil di pengungsian. Aku bisa melihat dia telah tumbuh menjadi gadis paling cantik yang pernah ada. Aku terus berjalan hingga aku berhenti tepat di belakangnya.

“Aqsha ....” panggilku pelan.

Aqsha membalikkan badannya dan “Kak Iyas, apa ini benar-benar kau?” air matanya menetes. Aku mengangguk pelan, dan dia langsung menghambur ke dalam pelukanku. “Aku merindukanmu.” Katanya di sela-sela tangisannya.

“Aku juga. Bahkan hampir gila.” Kataku menanggapi pernyataannya.

Mulai hari itu aku memutuskan untuk tetap tinggal di Palestina. Sepanjang hari aku membantu Aqsha di pengungsian dan malamnya berjaga untuk keamanan. Kami juga sering melakukan hal-hal menyenangkan dengan pergi ke tempat kami main dulu yang sekarang rata dengan tanah sembari memandang matahari terbenam. Aqsha selalu menyisihkan sebagian makanannya untukku. Setiap kali aku menolak dia akan selalu bertingkah menyebalkan dengan tak mau berbicara denganku. Katanya laki-laki membutuhkan banyak tenaga untuk bisa melawan tentara-tentara Israel meskipun aku tahu dia tak pernah lagi merasakan kenyang.

Semuanya terasa menyenangkan bersamanya. Hingga tragedi di hari itu. Aku tak tahu tanggal berapa dan hari apa. Karna bagiku itu tak ada artinya lagi. Aku hanya hidup dalam putaran-putaran waktu yang merangkapku dan itu membuatku sedikit tak peduli. Aku hanya menemukan siang yang mencengkam dan malam yang selalu terasa sangat panjang. Aku juga tak merasakan apapun. Kecuali perasaan cemas tapi itu sudah biasa aku rasakan. Memangnya kau bisa bersantai ria jika kau tiap hari menghadapi kematian? Maka dari itu aku mengusir perasaan cemas itu dengan berjalan-jalan kecil dan mencari Aqsha.

“Kak Iyas, sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Aqsha sambil memandangku dengan kening berkerut saat aku sudah bertemu dengannya.

“Aku ....”

DUARRRRR!

“Astaghfirullah!” Aku melihat Aqsha menutup kedua telinganya dengan tangan. Wajahnya sangat pucat dan dia memegang tanganku, “Kak Iyas harus berhati-hati.”

DUARRRR! Suara itu sangat dekat di telinga kami dan Aqsha mundur selangkah dariku karena kaget. “Aku harus ke pengungsian, anak-anak di sana membutuhkanku.” Lanjutnya dan meninggalkanku di sana sendirian.

Saat aku sudah tak melihat punggungnya karena masuk ke dalam pengungsian dan memastikan dia baik-baik saja aku segera bergabung dengan para pejuang Hamas. Aku ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan mereka tapi.

DUARRRR!!! Sebuah roket jatuh tepat tak jauh di belakangku. Aku menegang dan langsung melihat ke arah belakang. Kau tahu apa yang kulihat? Pengungsian anak-anak telah hancur lebur dan di situ Aqsha berada bersama mereka. Aku ternganga tak mampu berkata apa-apa.

Aku melihat semua orang berbondong-bondong mendekati pengungsian. Dan aku mendengar begitu banyak jeritan yang memilukan. Entahlah, kakiku tak mau juga bergerak untuk merangkak ke sana. Aku mati rasa. Pengungsian yang hancur itu juga menggambarkan harapanku yang hancur lebur. Orang tertolol pun pasti tahu apa yang telah terjadi pada Aqsha. Kematiannya terlalu cepat. Tapi aku harap dia baik-baik saja, dan sedang tersenyum bahagia di sana.

Aku menatap langit dan melihat sebuah roket melintas, aku tahu jatuhnya akan berada di tempat yang jauh dari tempatku sekarang. Tapi aku berjanji, aku akan menghentikan semua ini. Sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan, sudah terlalu banyak air mata yang terkuras dan hari ini adalah permulaan menuju Palestina yang merdeka.

¥¥¥

Minggu, 08 Juli 2012

Kunjungan Sejarah Ke Objek Bersejarah Di Palembang

Mencintai Kekayaan Sejarah di Kota Pempek


Waa..ngak kerasa tahun ajaran baru segera tiba sebentar lagi. Ternyata masih ada serentetan tugas yang harus diselesaikan oleh kami para siswa yang duduk di kelas XI.IPA ini, ya..ternyata guru kesenian kami ms.meri memberikan tugas untuk membuat video dokumenter tentang objek2 bersejarah. Awalnya ini cukup berat untuk kami para siswa yang sedang dilanda demam ujian karena 2 minggu lagi kami akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Tetapi, teman2 ku justru nyeletuk "Kenapa kita ngak coba ke Palembang aja bwt nyari objek bersejarah itu." Mmm..awalnya kami sih, ngak setuju karena waktunya ngak begitu cocok bwt kami para siswa yang sedang memiliki banyak ujian. Tetapi karena ingin sekedar refreshing dari kepenatan belajar akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke tempat2 tersebut.

Usul punya usul akhirnya kami pun pergi ke beberapa tempat yang ada di Kota Pempek itu. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Museum Balaputra Dewa. Kami berangkat pada tanggal 10 Juni 2012, hanya ada waktu 1 hari bagi kami untuk membuat tugas itu karena besoknya kami harus belajar seperti biasa. Tepat pukul 5 pagi kami berangkat dari kota langit ini (baca: Sekayu)..ahhahaa, temen2 aku sih biasanya bilang kalau kota Sekayu yang terletak di SUMSEL ini adalah kota  Langit. Ntah, apa yang membuat mereka memberi nama Sekayu sebagai Kota Langit, mungkin diambil dari singkatan SEKAYU  itu sendiri yang memang klw disingkat menjadi "SKY" yang artinya langit. Jarak kota Sekayu ke Palembang tidak cukup jauh hanya memakan waktu 3 jam bagi kami untuk sampai ke sana.





Perjalanan Ke Kota Palembang

1.Museum Balaputra Dewa
Museum ini dibangun pada tahun 1877 dengan arsitektur tradisional Palembang di atas area seluas 23.565 meter persegi dan diresmikan pada tanggal 5 November 1984. Pada mulanya museum ini bernama Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan, selanjutnya berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1223/1999 tanggal 4 April 1990. Museum ini diberi nama Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan “Bala Putra Dewa”. 


Nama Bala Putra berasal dari nama seorang raja Sriwijaya yang memerintah pada abad VIII-IX yang mencapai kerajaan maritime. Di museum ini terdapat koleksi yang menggambarkan corak ragam kebudayaan dan alam Sumatera Selatan. Lokasinya terdiri berbagai benda histrografi, etnografi, feologi, keramik, teknologi modern, seni rupa, flora dan fauna serta geologi. Selain terdapat rumah limas dan Rumah Ulu Ali, kita dapat mengunjunginya dengan menggunakan kendaraan umum trayek km 12.


Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang dulu dikenal dengan Museum Balaputra Dewa dibangun pada tahun 1978 dan diresmikan pada 5 November 1984. Museum ini dikelola oleh Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera Selatan.



Musem Negeri Provinsi Sumsel ini dibangun dengan arsitektur tradisional Palembang pada areal seluas 23.565 meter persegi. Di museum ini terdapat sekitar 3.800 koleksi, terdiri berbagai macam jenis koleksi yang diklasifikasikan menjadi 10 jenis, di antaranya Geologika, Biologika, barang-barang tradisional Palembang, ofset binatang dari berbagai daerah di Sumatera Selatan dan beberapa miniatur rumah di pedalaman. Terdapat pula replika prasasti dari arca kuno yang pernah ditemukan di Bukit Siguntang. 


Selama ini museum cenderung dicitrakan sebagai bangunan ketinggalan zaman atau sepi sehingga suasananya membosankan, tetapi pihakmuseum telah memperbaikinya dengan memberikan kenyamanan kepada para pengunjung. Bagi masyarakat, keberadaan museum memberikan banyak manfaat. 



Pada tahun anggaran 2010, Museum Negeri Sumsel melakukan kegiatan pendataan dan dokumentasi koleksi Arkeologika museum Balaputra Dewa Palembang. Hal ini dianggap penting karena memudahkan administrasi koleksi dan dapat menjadi literatur tulisan para peneliti, mahasiswa dan pelajar. 



Secara periodisasi, koleksi arkeologi Museum Negeri Provinsi Sumsel ini (dulu Museum Balaputra Dewa) dapat diklasifikasikan menjadi tiga periodisasi masa, yakni masa pra sejarah, masa pra sriwijaya dan masa sriwijaya. 



Museum terbuka untuk umum mulai pukul 09.00 sampai 14.00 kecuali hari Senin, dan khusus hari Minggu dibuka pada pukul 08.00-14.00 Wib. Setiap pengujung dikenakan biaya masuk sebesar Rp 1.500 per orang dewasa dan Rp 1.000 per anak-anak. 



Dari pusat kota, lokasi museum ini dapat dicapai dengan kendaraan otolet, BRT atau taksi-taksi yang langsung ke halaman museum. Bagaimana ada yang tertarik ke Museum ini, kalian bisa pergi ke Jalan Sriwijaya I No.288 KM.5,5 Palembang jika kalian tertarik dengan wisata museum ini.


Mata kami pun dimanjakan dengan benda-benda unik yang ada di dalam museum, kami tidak bosan-bosannya berada di dalam sini. Tetapi kami harus berpaju dengan waktu, setelah puas berfoto2 di Museum ini kami pun menuju Jembatan Ampera.



















FOTO-FOTO di dekat Taman Museum Balaputra Dewa



 This is me, kiki :)
Lihat ngak songket dibelakangnya..yeah..isn't it beautiful?


Me and rima :D, eh..ada satu lagi arcanya ketinggalan


Mati gaya gw, ama si Gatu satu ini :P




Di depan pintu masuk ni,,,,,



2.Jembatan Ampera




Siapa yang tak tau dengan jembatan yang satu ini, kemegahan dari Jembatan Ampera ini sudah terkenal  di seluruh pelosok negeri. Jembatan yang dibangun di atas sungai Musi ini memang sepintas seperti jembatan biasa pada umumnya, tetapi jembatan Ampera berbeda dengan Jembatan pada umumnya, jembatan ini memiliki banyak kisah-kisah Sejarah yang ada dibalik pembangunan jembatan ini.  Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Kota PalembangProvinsi Sumatera SelatanIndonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Struktur

Panjang : 1.117 m (bagian tengah 71,90 m)
Lebar : 22 m
Tinggi : 11.5 m dari permukaan air
Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah
Jarak antara menara : 75 m
Berat : 944 ton

SEJARAH
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.

Keistimewaan

Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.
Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.
Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.



Rumah Rakit di tepian Sungai Musi, Unik Bukan?


Rumah rakit pada jaman dulu, masih asli banget Palembangnya :)
 tambah bangga nii jadi rakyat Palembang dengan segala kekayaan budaya lokalnya

Ampera dimalam hari, isn't it beautiful?

Mata kami pun dimanjakan dengan pemandangan disebelah kanan dan kiri jembatan, ya ...betul sekali ada pemandangan sungai musi di sebelah kiri dan kanan sungai. Banyak sekali aktivitas penduduk yang dilakukan di atas sungai Musi ini. Nampaknya, Sungai Musi merupakan salah satu tombak perekonomian masyarakat Sumatera Selatan. Di sekitaran Ampera kita bisa menemukan objek wisata yang menarik seperti Rumah Rakit (rumah terapung yang berada di atas air), ada juga wisata kuliner yang bisa kita temukan di sekitaran sungai tetapi tenang saja kuliner-kuliner yang disajikan harganya sangat terjangkau bagi para wisatawan yang berkunjung dan sangat cocok sekali bagi kantong siswa-siswa SMA seperti kami...hahaha :D. Tidak hanya itu saja, bagi kalian yang tertarik dengan wisata air kalian bisa mencoba berkeliling sungai musi dengan menggunakan perahu motor yang disewakan oleh penduduk setempat dan tentunya juga masalah harga sangat terjangkau bagi para pengunjung. Pemandangan Ampera begitu menakjubkan jika dilihat pada waktu malam hari, oleh karena itu tak jarang para wisatawan juga banyak berkunjung ke sitaran Ampera ini pada malam hari. Setelah puas berkeliling Ampera kami pun perhi ketempat yang sangat menarik lagi di sekitar Ampera...kali ini lagi2 kami menuju ke Museum tetapi tenang saja jaraknya tidak terlalu jauh dari Ampera.

3. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Ya....welcome to museum sultan mahmud badaruddin II, kesan pertama datang ke Museum ini kerasa banget palembangnya. Soalnya Museum yang terletak tidak jauh dari Ampera ini menampilkan beragam kebudayaan Palembang yang semuanya di terangkum disini. Museum yang berbentuk rumah panggung ini tidak pernah sepi pengunjung, apa lagi jika dihari libur.  Tiket untuk masuk ke museum ini juga sangat murah lo, hanya dengan Rp.2000 kita bisa memasuki museum ini. Ngak usah banyak cerita ya..kita langsung aja yuk masuk  ke Museum ini.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II tampak  depan

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang berada di seberang Sungai Musi ini memiliki bentuk asli bangunan tidak berubah dari masa awal pendiriannya. Lokasinya di Jalan Sultan Mahmud Badaruddin II No. 2, Palembang.
Di museum ini Anda dapat menikmati sekitar 556 koleksi benda bersejarah, mulai dari bekas peninggalan kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang. Nama Sultan Mahmud Badaruddin II dijadikan nama museum ini untuk menghormati jasanya bagi kota Palembang.
Museum ini berdiri di atas bangunan Benteng Koto Lama (Kuto Tengkurokato Kuto Batu) dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) memerintah. Berdasarkan penyelidikan oleh tim arkeologis tahun 1988, diketahui bahwa pondasi Kuto Lama ditemukan di bawah balok kayu.
Benteng ini pernah habis dibakar oleh Belanda pada 17 Oktober 1823 atas perintah I.L. Van Seven House sebagai balas dendam kepada Sultan yang telah membakar Loji Aur Rive. Kemudian di atasnya dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda. Pada masa Pendudukan Jepang, gedung ini dipakai sebagai markas Jepang dan dikembalikan ke penduduk Palembang ketika proklamasi tahun 1945.  Museum ini direnovasi dan difungsikan sebagai markas Kodam II/Sriwijaya hingga akhirnya menjadi museum dan

Jam berkunjung museum ini adalah Senin hingga Kamis08.00 – 16.00 WIB, Jumat08.00 – 11.30; serta  Sabtu dan Minggu09.00 – 16.00. Untuk hari libur nasional akan tutup.






Di dalam bangunan Museum


4.Kampung Kapiten



Kampung Kapiten

Tidak tahu persis kapan pertama kali etnis tionghoa menginjakkan kakinya kali pertamanya ke Palembang, banyak hal yang mesti digali dan diteliti kembali sejarah awalnya etnis tionghoa masuk ke Palembang, menurut Oey eng sui salah satu warga kampung kapitan etnis tionghoa, dari mulai 2005 sampai sekarang baru mulai digali lagi sejarahnya, kampung kapitan adalah tempat awalnya etnis tionghoa Kota Palembang bermukim dan berpusat disana. Tapi kejelasannya mesti digali kembali.

”Kalau berdasarkan silsilah temenggung TJua Ham Hin, sesepuh kami, berarti kampung kapitan telah ada sebelum 1850, beliau sendiri generasi ke sepuluh dari leluhur pertama kami, dan saya belum bisa menyebutkan silsilah dari awal, leluhur kami. Dan saya adalah mantu dari generasi ke 13, ”cerita pria yang sudah berambut putih ini.

Sejak abad ke 19 sampai 20 kampung kapitan sekaligus nilai-nilai budaya dan sejarahnya terkikis apalagi setelah zaman kemerdekaan, dulu pusat perdagangannya berada di 10 ulu dan itu termasuk wilayah Tjua Ham Hin china town atau sekarang menjadi sebutan kampung kapitan.

“Dulu kampung kapitan dikenal sebagai kota cina yang disebut china town luas wilayah kala itu adalah 20 hektar dan sepuluh ulu sekarang adalah pusat perdagangannya. Hingga sekarang Peninggalan bangunan leluhur etnis tionghoa yang tersisa adalah dua rumah panggung ini. Dulu ada tiga bangunan rumah leluhur kampung kapitan etnis tionghoa sekarang tingal dua rumah yang satunya sudah dijual, akibat masalah ekonomi dan terkikis oleh zaman,” tuturnya ketika disambangi dirumahnya peninggalan leluhurnya.

Kampung kapitan awalanya dihuni keluarga besar dari nenek moyangnya Tjua Ham Hin, awalnya pasti datang pertama kali ke Palembang membawa keluarganya beserta jajarannya, tukang masak, anak buah, dayang-dayangnya,” bisa-bisa ratusan orang mendatangi tempat ini tapi sekarang telah menyebar ke berbagai daerah, dan untuk kampong kapitan sendiri sekarang hanya tinggal belasan Kepala Keluarga (KK),” Katanya.
“Sejalan dengan waktu diantaranya terjadi perkawinan dengan penduduk setempat akhirnya etnis tionghoa bercampur jadi satu dan keturunannya Tjua Ham Hin juga menyatu menjadi rakyat biasa.

Ia juga menambahkan bahwa kampung kapitan yang beretnis tionghoa khususnya generasi Tjau Ham Hin berasal dari suku Provinsi Hok Kian Kabupaten ching chow, “asal muasalnya dari sana,” tambahnya.
Memang tak banyak yang bisa diceritakan dari sejarah awalnya kampung kapitan, karena minimnya data dan informasi, tapi bila ditilik dari garis keturunan leluhurnya yaitu generasi kedelapan Tjau Ham Him telah ada sekitar 1805, ia adalah leluhur orang tionghoa Kota Palembang dan seorang temenggung keluarga dan leluhurnyalah yang membawa etnis tionghoa ke Kota Palembang.

“Seorang temenggung pada zaman Belanda memiliki kekayaan melimpah ruah. Kira-kira temenggung itu dibawah walikota tapi diatas camat, kata Oei yang ragu menjelaskan setara dengan apa kalau jabatannya zaman sekarang.
  Di salah satu rumah di kampung ini juga ditemukan lukisan Kapiten yang konon katanya jika kita melihat dari 3 arah lukisan tersebut seolah2 melihat ke arah kita, percaya atau tidak silahkan buktikan sendiri untuk datang ke kampung kapiten ini.




Tempat peribadatan warga tionghoa


Lukisan Kapiten yang konon menyimpan cerita tersendiri




This is our team


Fiuuuh...akhirnya perjalanan yang melelahkan ini selesai juga. Terima kasih bwt kalian yang sudah mengikuti perjalanan kami dari awal sampai akhir. Ikuti terus cerita kami ini, sebagai anak sumsel saya merasa sangat bangga sekali, karena ternyata daerah saya menyimpan begitu banyak cerita sejarah dan ternyata sangat unik. Walaupun begitu masih ada stu tantangan lagi bagi kami generasi muda, yaitu mempertahankan dan terus melestarikan budaya tersebut agar tidak diklaim oleh bangsa manapun...
Go Indonesia, Go..Go..Go

ARIGATOU GOZAIMASU :)