epilog yang tak jua terjamah_novi handayani
27 April 2009
Assalammualaikum Saudaraku…
Aku tak tahu harus menulis apa. Karena ada begitu banyak yang ingin aku ceritakan. Jika kau ingin bertanya bagaimana kabarku, aku ingin bilang untuk saat ini aku baik-baik saja dan aku tengah bersembunyi di reruntuhan puing bangunan yang baru saja rubuh. Bahkan tanganku masih gemetar.
Lalu apa kabarmu?
Kau tahu, setiap hari Ibu selalu berdoa agar kau di sana dalam keadaan baik-baik saja, aku juga. Meskipun kuakui aku benar-benar iri padamu, kau tinggal di tempat paling subur di dunia dan tak ada orang yang akan mengincar nyawa kalian setiap saat dengan roket yang selalu berterbangan. Pasti menyenangkan bukan?
Kakak …
Akhir-akhir ini keadaan semakin memburuk. Dan aku tak bisa berpura-pura lagi aku benar-benar takut. Ketakutan itu menggerogotiku dan mengutukku ke tempat yang menjijikkan. Tapi apakah ada yang salah dengan ketakutanku? Ada begitu banyak alasan yang membuatku benar-benar takut. Aku takut setiap melihat Ibu semakin hari keadaannya semakin memburuk. Wajahnya sangat pucat dan itu selalu mengingatkanku pada mereka yang kalah dalam peperangan dan mati syahid. Muka mereka juga pucat. Aku takut saat melihat ke langit. Ini adalah trauma berkepanjangan yang tak akan pernah bisa aku jelaskan. Seolah-olah di langit sana ada hujan roket dan itu membuatku gila karena aku bersikap gila saat aku keluar rumah yang tak ada perlindungannya. Aku takut karena peperangan ini juga belum berhenti. Semakin lama perang ini berlangsung semakin kecil pula kesempatanku untuk meraih apa yang ingin aku raih. Tapi aku tahu, ini bukannya saat untuk bermimpi ini adalah saatnya untuk realistis. Aku tak akan berharap banyak. Tapi aku bolehkan sedikit saja berharap semua akan baik-baik saja.
Kakak …
Apa kau tahu kenapa perang ini tak juga mau berakhir? Aku merasa dan seharusnya semua orang juga merasa bahwa perdamaian itu lebih indah dari pada menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Apakah mereka sudah benar-benar biasa mencium bau anyir darah sehingga rasa kasihan itu tak lagi ada.
Jujur saja, aku bukan mental jajahan dan juga bukan bermental penjajah. Aku tak tahu siapa yang menjajah dan siapa yang dijajah. Tapi aku ingin tahu apa salahku dan juga salah mereka? Karena aku benar-benar tak tahu apa-apa. Yang aku tahu nyawa kami sedang dalam ancaman besar. Sebenarnya ini juga bukan masalah karena nantinya kami juga akan mati. Tapi aku selalu membayangkan aku mati dalam dekapan Ibu dan kau ada di sampingku bukan di reruntuhan puing-puing dengan kaki dan tangan melepuh. Aku takut. Banar-benar takut.
Kapan Kakak pulang? Apakah di sana benar-benar menyenangkan hingga kau tak juga pulang. Indonesia. Negara yang populasi muslimnya terbanyak di dunia. Aku juga ingin ke sana. Tapi aku memilih untuk tetap di sini, bersikap nasionalisme. Karena aku memang tak punya pilihan. Hahaha … Ironis sekali.
Aku benar-benar merindukanmu dan berharap Kakak ada di sini.
Kurasa aku harus ke tempat pengungsian sekarang. Ibu pasti sudah menungguku. Jaga dirimu selalu, Kak. Aku menyayangimu.
Wassalamualaikum …
Adikmu ….
Aqsha
17 September 2009
We Will Not Go Down
By : Michael Heart
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our school
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
We will not go down
In Gaza tonight
Akhir-akhir ini aku lebih dekat dengan lagu ini. Aku tak tahu dekat dalam artian apa. Apakah sedekat aku dengan surat Al-Anfal? Hanya saja rasanya menyenangkan di luar sana ada sesosok manusia memperhatinkan nasib kami. Sebenarnya bukan itu juga yang aku mau. Entahlah, perasaanku semakin hari semakin kacau jadi kata yang ingin aku tuliskan pun semakin berantakan. Mungkin akan sedikit terbaca rancu. Aku hanya merasa senang karena aku tak sendiri.
Kakak ....
Semuanya semakin runyam semenjak Ibu tak ada. Aku sendirian di sini. Kapan kau pulang dan menjemputku ke tempatmu? Aku sudah tak kuat lagi menyaksikan yang akan lebih parah dari pada ini. Rangkaku tak lagi mau berkompromi untuk menopang tubuhku agar aku tetap berdiri. Aku benar-benar lelah, aku ingin tertidur selamanya saja. Seperti ibu, wajahnya damai sekali meskipun tak lagi utuh. Aku ingin pergi ke tempat di mana pun Ibu berada.
Kakak ....
Kejadiannya begitu cepat dan tahu-tahu Ibu sudah tertidur di reruntuhan puing bangunan. Aku sendiri saat itu tidak bersama Ibu, aku sedang mencari makanan untuk makan malam kami. Tiba-tiba sebuah roket meluncur dan aku lari tunggang langgang bersembunyi di balik sebuah batu besar. Cukup lama aku duduk di situ gemetaran. Aku benar-benar takut, Kak. Tidak pernah setakut ini. Lalu aku teringat Ibu dan aku segera pulang mencari Ibu, di jalan tak henti-hentinya aku membaca surat Al-Anfal.
Kakak ....
Apakah kau tahu bagaimana rasanya saat kau pulang dan melihat tempat orang yang sangat kau sayangi sudah rata dengan tanah. Dan orang yang kau sayangi itu tengah terbaring sakit tak dapat melakukan perlawanan apapun untuk menghindari roket-roket jahanam. Sakit Kak! Benar-benar sakit hingga membuatku mati rasa. Aku meraung dan terduduk di sana.
Kakak ...
Saat itu juga aku menghambur ke reruntuhan itu dan mengais apa yang bisa aku temukan di sana. Aku berharap aku tak menemukan apapun. Aku juga tak tahu aku mencari apa karena aku tak ingin mencari apapun. Hanya saja kakiku terus melangkah dan kau tahu apa Kak. Aku menemukan sepotong tangan di tumpukan batu bata. Jemari-jemarinya mencengkram Al-Quran dan di pergelangan tangannya ada sepasang gelang yang pernah kau buatkan untuknya. Aku tersenyum miris, berharap ini semua hanya lelucon dan aku akan melihat Ibu menepuk pundakku seraya berkata, ‘kau sudah sholat belum?’
Tapi aku tahu itu semua tak akan pernah terjadi lagi. Di sini aku merasa tak jauh beda dengan mereka semua. Aku benar-benar sendirian. Aku merindukanmu sangat merindukanmu hingga rasanya menyesakkan. Aku membutuhkanmu. Aku tak kuat untuk sendiri lagi.
Ada begitu banyak kejadian yang ingin aku ceritakan padamu. Tapi aku tak memiliki waktu banyak untuk menghamburkan tinta ke dalam sebuah cerita. Sekarang aku sudah menjadi relawan dan menolong siapa saja yang membutuhkanku karena ada begitu banyak orang yang harus ditolong.
Aku hanya bisa berharap entah itu kapan aku bisa melihatmu lagi..
Hampir saja lupa, tiga hari sebelum kepergiannya. Ibu selalu menceritakan padaku tentang masa kecilmu saat aku belum lahir. Beliau bilang kau adalah anak termanis yang pernah ada. Dan beliau sangat merindukanmu lalu ujarnya dia menginginkan menantu yang baik sholelah darimu. Kapan kau akan memberikan kakak ipar untukku?
Aku ingin kau benar-benar cepat pulang karena masih banyak yang akan aku ceritakan tentang apa saja yang telah dikatakan Ibu.
Karena aku ingin melihat kakak iparku dulu sebelum aku membusuk karena roket. Kurasa aku harus benar-benar pergi sekarang. Mereka semua membutuhkanku.
Salam rinduku untukmu.
Adikmu
Aqsha
¥¥¥
7 Desember 2009, Jakarta.
Aku menutup mata setelah membaca dua surat terakhir dari adikku, yang sekarang berada di Pelestina. Pasti butuh perjuangan yang berat untuk mengirimiku sebuah surat. Aku tahu bagaimana peliknya hidup di sana karena telivisi tak pernah berhenti
mengabarkan berita duka dari negeri yang sudah lama aku tinggalkan. Aku merasa menjadi orang paling pengecut yang pernah ada.
Disana …
Adikku berjuang melawan apapun yang ada di sana. Kelaparan, ketakutan, dan yang membuatku gentar dia juga melawan kematian. Aku benar-benar menyesali nasibku yang bisa terdampar di negeri ini. Negeri asing yang memiliki tingkat tertinggi kasus abortusnya untuk wilayah Asia. Astaghfirullah! Aku benar-benar tak tahu dengan negeri yang sekarang aku diami ini. Apakah karena di negeri ini tidak ada konflik bersenjata seperti di sana, sehingga orang bisa melakukan hal hina tersebut? Sepertinya mereka belum menghargai arti sebuah nyawa bagi kami yang ada di sana. Memang hampir setiap hari di Gaza sejak penyerangan Israel, kami menyaksikan bayi-bayi kami mati, namun, bukanlah diselokan-selokan, atau got-got apalagi di tempat sampah. Setahuku, mereka mati syahid. Mati syahid karena serangan roket tentara Israel!
Kami menemukan mereka tak bernyawa lagi dipangkuan ibunya, di bawah puing-puing bangunan rumah kami yang hancur oleh serangan roket tentara Zionis Israel. Karena bagi kami nilai seorang bayi adalah aset perjuangan perlawanan kami terhadap penjajah Yahudi. Mereka adalah mata rantai yang akan menyambung perjuangan kami memerdekakan Negeri kami.
Dan di sini, benar-benar tak ada yang bisa aku lakukan. Duduk diam dengan keringat mengucur karena gelisah sembari membaca berita kemudian berjalan kesana-kemari mencoba berpikir apa yang bisa aku lakukan. Dan aku selalu mengalami kebuntuan. Otakku serasa mati dan segala opini yang muncul dalam benakku selalu saja terasa konyol. Ini cerita nyata bukan khayalan seorang pujangga. Tapi kadang aku juga berharap ini cerita fiksi saja, jadi saat aku merasa mereka sudah keterlaluan dengan mematikan begitu banyak peran atas nama warga Palestina aku akan membuat alur layaknya cerita biasa.
Kebenaran itu terungkap dan mereka semua telah menyerah. Menyerah karena kalah dan juga sadar mereka telah salah. Dan kami hanya tersenyum simpul sembari
mengatakan tidak apa-apa, lupakan saja yang telah berlalu. Kita mulai lembaran baru yang lebih indah.
Dan setiap kali aku membayangkan hal ini, hatiku miris seketika. Seolah tamparan yang amat kuat telah menyadarkanku dari keterpurukan yang tak berkesudahan. Aku lelah karena ini semua nyata. Aku juga takut karena tidak hanya Aqsha, aku juga mulai gila. Aku gila karena aku selalu duduk gelisah kemudian aku merasa lega saat mereka baik-baik saja kemudian kegelisahan itu menendangku hingga membuatku jatuh tersungkur karena tidak semua baik-baik saja. Aku gila, karena aku tidak bisa melakukan apapun. Aku benar-benar ingin pulang.
Aku terperangkap dengan kontrak kerja. Aargh ... peduli setan dengan kontrak sialan itu, adikku lebih penting. Aku sudah kehilangan Ibuku dan aku tak mau kehilangan orang yang aku sayangi untuk kedua kalinya. Aku menyambar telepon, mendekatkannya ke telinga dan menghubungi bandara untuk memesan tiket pesawat. Aku bisa berhenti di mana saja, dan melanjutkan perjalanan dengan jalur darat melalui Jalur Rafah. Aku tahu jalur itu terbuka. Aku tahu seluk-beluk negaraku itu dan aku percaya tak ada orang yang mengenal Palestina sebaik aku mengenalnya.
¥¥¥
Aku tiba di Palestina tanggal 15 Desember 2009. Benar-benar perjalanan yang sangat panjang. Aku hanya bisa melakukan perjalanan di malam hari saat aku sudah menggunakan jalur darat. Ada begitu banyak tentara Israel yang berkeliaran dan aku percaya jika mereka melihatku maka aku akan langsung dihabisi oleh mereka.
Tapi semua lelah itu terbayar saat aku melihat Aqsha tengah merawat anak kecil di pengungsian. Aku bisa melihat dia telah tumbuh menjadi gadis paling cantik yang pernah ada. Aku terus berjalan hingga aku berhenti tepat di belakangnya.
“Aqsha ....” panggilku pelan.
Aqsha membalikkan badannya dan “Kak Iyas, apa ini benar-benar kau?” air matanya menetes. Aku mengangguk pelan, dan dia langsung menghambur ke dalam pelukanku. “Aku merindukanmu.” Katanya di sela-sela tangisannya.
“Aku juga. Bahkan hampir gila.” Kataku menanggapi pernyataannya.
Mulai hari itu aku memutuskan untuk tetap tinggal di Palestina. Sepanjang hari aku membantu Aqsha di pengungsian dan malamnya berjaga untuk keamanan. Kami juga sering melakukan hal-hal menyenangkan dengan pergi ke tempat kami main dulu yang sekarang rata dengan tanah sembari memandang matahari terbenam. Aqsha selalu menyisihkan sebagian makanannya untukku. Setiap kali aku menolak dia akan selalu bertingkah menyebalkan dengan tak mau berbicara denganku. Katanya laki-laki membutuhkan banyak tenaga untuk bisa melawan tentara-tentara Israel meskipun aku tahu dia tak pernah lagi merasakan kenyang.
Semuanya terasa menyenangkan bersamanya. Hingga tragedi di hari itu. Aku tak tahu tanggal berapa dan hari apa. Karna bagiku itu tak ada artinya lagi. Aku hanya hidup dalam putaran-putaran waktu yang merangkapku dan itu membuatku sedikit tak peduli. Aku hanya menemukan siang yang mencengkam dan malam yang selalu terasa sangat panjang. Aku juga tak merasakan apapun. Kecuali perasaan cemas tapi itu sudah biasa aku rasakan. Memangnya kau bisa bersantai ria jika kau tiap hari menghadapi kematian? Maka dari itu aku mengusir perasaan cemas itu dengan berjalan-jalan kecil dan mencari Aqsha.
“Kak Iyas, sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Aqsha sambil memandangku dengan kening berkerut saat aku sudah bertemu dengannya.
“Aku ....”
DUARRRRR!
“Astaghfirullah!” Aku melihat Aqsha menutup kedua telinganya dengan tangan. Wajahnya sangat pucat dan dia memegang tanganku, “Kak Iyas harus berhati-hati.”
DUARRRR! Suara itu sangat dekat di telinga kami dan Aqsha mundur selangkah dariku karena kaget. “Aku harus ke pengungsian, anak-anak di sana membutuhkanku.” Lanjutnya dan meninggalkanku di sana sendirian.
Saat aku sudah tak melihat punggungnya karena masuk ke dalam pengungsian dan memastikan dia baik-baik saja aku segera bergabung dengan para pejuang Hamas. Aku ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan mereka tapi.
DUARRRR!!! Sebuah roket jatuh tepat tak jauh di belakangku. Aku menegang dan langsung melihat ke arah belakang. Kau tahu apa yang kulihat? Pengungsian anak-anak telah hancur lebur dan di situ Aqsha berada bersama mereka. Aku ternganga tak mampu berkata apa-apa.
Aku melihat semua orang berbondong-bondong mendekati pengungsian. Dan aku mendengar begitu banyak jeritan yang memilukan. Entahlah, kakiku tak mau juga bergerak untuk merangkak ke sana. Aku mati rasa. Pengungsian yang hancur itu juga menggambarkan harapanku yang hancur lebur. Orang tertolol pun pasti tahu apa yang telah terjadi pada Aqsha. Kematiannya terlalu cepat. Tapi aku harap dia baik-baik saja, dan sedang tersenyum bahagia di sana.
Aku menatap langit dan melihat sebuah roket melintas, aku tahu jatuhnya akan berada di tempat yang jauh dari tempatku sekarang. Tapi aku berjanji, aku akan menghentikan semua ini. Sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan, sudah terlalu banyak air mata yang terkuras dan hari ini adalah permulaan menuju Palestina yang merdeka.
¥¥¥